Nasib Guru Honor Murni



Dibanding dengan negara Malaysia, kualitas pendidikan di Indonesia masih berada di posisi bawah.  Keterpurukan atau keadaan yang menyedihkan dalam dunia pendidikan kita, disebabkan dengan berbagai faktor.  Salah satunya adalah terkait dengan masalah kesejahteraan guru, khususnya gaji yang diperoleh setelah mendidik dalam per bulannya.

Menanggapi problema tersebut, sejak tahun 2005 dengan dikeluarkannya Undang-Undang guru dan dosen serta keibijakan pemerintah mengalokasikan 20% anggaran pendidikan, guru mendapat angin segar.  Pasalnya sejak Republik ini merdeka hingga awal milenium ini, guru dibuaikan dengan mitos pahlawan tanpa tanda jasa yang dalam realitasnya sebagai guru yang tidak sejahtera.

Gambaran “guru zaman dulu” terlihat sempurna seperti bait-bait dalam lagu yang diciptakan oleh Iwan Fals ayng berjudul “Umar Bakri”. Guru dilukiskan dengan memperoleh gaji yang selalu dikebiri selama 40 tahun mengabdi.  Menyedihkan memang, pendidikan yang menciptakan orang hebat seperti Habibie, sulit mebiayai hidup anak istri.

Hingar-bingar kritik yang dikomunikasikan melalui lantunan lagu seperti di atas, ataupun tulisan-tulisan, terlihat cukup marak sebelum tahun 2000-an.  Kini kampanye pendidikan terkait dengan kesejahteraan nyaris hampir tak terdengar.  Hal demikian, karena mayoritas guru telah menikmati renyahnya angin segar perubahan gaji tersebut.  Namun, kenyataannya tak seindah seperti yang diberitakan oleh beberapa media, dan juga terus digembar-gemborkan oleh Diknas, juga oleh SBY.  Bahkan kesejahteraan di DKI Jakarta, tidak sesejahtera seperti orang lain mengetahuinya.  Banyak guru di Ibukota negara ini masih memprihatinkan.

Jalinan komunitas antara informan dan audience sering kali dipengaruhi oleh dokumen resmi yang baku. Terkait dengan itu opini yang terbentuk di masyarakat tentang kesejahteraan guru selaras dengan ketetapan yang berlaku.  Namun, harus diketahui bahwa pemerintah belum memiliki agenda komprehensif terhadap kesejahteraan guru. Artinya kesejahteraan guru hanya menyentuh kepada elemen yang secara langsung dalam struktur keorganisasian pemerintah.  Dalam hal ini adalah guru PNS dan guru yang akan diangkat menjadi PNS (guru honorer).

Dengan diberlakukannya otonomi daerah kesejahteraan guru juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (PEMDA) DKI Jakarta sebagai fokus pada kampanye pendidikan.  Ini merupakan satu-satunya propinsi yang memanjakan guru dengan memberikan incentif tertinggi di Indonesia.  TPP (Tunjangan Peningkatan Pendidikan) yang diberikan kepada guru tiap bulannya mencapai Rp. 2.000.000 dan guru PNS terlihat sejahtera.

Namun, kiranya banyak yang tidak paham tentang pengertian bermacam-macam guru di sekolah, yang menyebabkan banyak salah kaprah, sehingga disamaratakan semuanya.

Guru di DKI bergaji besar, sudah sejahtera.  Guna tidak terjebak pada opini tersebut, berikut dijabarkan macam-macam guru yang ada di Jakarta:

1) Guru PNS adalah guru yang berstatus pegawai negeri sipil yang digaji oleh pemerintah RI dan Pemda DKI.  Gaji yang diperoleh tiap bulannya berkisar 2 – 5 Juta Rupiah termasuk incentif dari sekolah Rp. 300.000,- sampai Rp. 900.000,-.

2) Guru PTT, adalah Pegawai tidak tetap sebagai guru yang berstatus “setengah” pegawai negeri sipil ayng digaji oleh Pemda DKI.  Gaji yang diperoleh sekitar 1,8 – 2,5 juta Rupiah, termasuk incentif dari sekolah sekitar Rp. 300.000.- sampai Rp. 900.000,-

3) Guru bantu adalah guru yang berstatus honor yang digaji oleh Pemerintah RI. Gajinya sekitar 1 – 2 juta rupiah per bulan, termasuk incentif dari sekolah antara Rp. 300.000.- sampai Rp. 900.000,-. Guru bantu dan guru PTT biasa dikenal oleh SBY, Anggota DPR, dan insan media massa denan sebutan guru honor.

4) Guru honor murni (GHM) atau GTT (Guru Tidak Tetap), adalah guru yang tidak digaji oleh Pemerintah RI akan tetapi digaji berdasarkan swadaya dari sekolah.  Incentif per bulan Rp. 300.000.- sampai Rp. 900.000,- dan incentif dari Pemda DKI sebesar Rp. 200.000,- . GHM ini di sekolah-sekolah dikenal denan sebutan Guru Honor.  GHM termasuk yang mendidik di sekolah negeri ataupun swasta.

Selain guru-guru yang memperjuangkan nasibnya sendiri, DPR juga merupakan bagian integral dari proses pensejahteraan guru.  Karena guru merupakan rakyat dan DPR adalah corong kepentingan rakyat.  Lucunya ternyata DPR tidak tahu menahu tentang Guru Honor Murni (GHM) atau yang juga dikenal sebagai GTT (Guru Tidak Tetap). Yang mereka tahu hanya guru PNS dan guru honor (guru PTT dan Guru Bantu).  Hal ini sesuai dengan penuturan salah satu anggota GHM setelah bertemu dengan wakil DPR beberapa waktu lalu.  GHM tersebut menuturkan bahwa : ”DPR tidak tahu tentang keberadaan kita (Guru Honor Murni), mereka hanya tahu PTT (Pegawai Tidak Tetap), dan mereka tidak punya agenda untuk kita”.

Amat disayangkan pengetahuan DPR, apalagi dukungan terhadap GHM.  Namun demikian yang lebih memprihatinkan lagi ialah penerimaan hak gaji GHM yang sedemikian timpangnya dibanding Guru PNS, PTT dan Guru Bantu.  Padahal, beragam guru tersebut memikul tanggung jawab yang sama, alias tidak dibeda-bedakan.

Keadaan ketimpangan tersebut dan tentunya, semoga, diketahui Depdiknas, telah berlangsung sejak lama, dan realitas ini berlarut-larut.  Kealpaan political will pemerintah untuk menyikapi diskriminasi tersebut telah menggerus sistem pengetahuan dalam unsur kebudayaan  pada republik ini.  Sebagai sebuah sistem, guru merupakan salah satu pilar terdepan dalam mentransfer pengetahuan dan memotivasi siswa untuk mengembangkan potensinya.

Berdasarkan gaji yang nyaris setara dengan UMR buruh di Jabodetabek dan beban ekonomi di DKI Jakarta, sulit untuk GHM dalam mengembangkan keilmuannya.  GHM jauh lebih sibuk mengajar di beberapa lembaga pendidikan, bahkan hingga malam hari di bandingkan menulis, membaca dan meneliti.  Mereka sibuk mencari makan, dengan demikian, diskriminasi yang terjadi adalah pemerintah telah menggembosi elemen yang turut mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan kata lain, saat ini diskriminasi guru secara khusus, atau tenaga pendidik secara umum, dengan sistematis terkondisikan akibat dari kebijakan pemerintah yang jauh dari cerminan sebuah keadilan.  Secara lebih ekstrim, menciptakan kostelasi antar golongan guru.  Ini bukan pembedan karena prestasi, namun penggolongan ini disebabkan perbedaan perlakuan pemerintah terhadap guru.  Selayaknya dahulu, bangsa Arya membuat sistem kasta terhadap bangsa Dravida di India.

Secara umum kondisi guru di Indonesia, khususnya DKI Jakarta terbagi menjadi dua, Guru PNS dan Guru non-PNS.  Penjabaran lanjut status atau macam-macam guru, dikenal Guru PNS, Guru PTT, Guru Bantu, hingga GHM atau GTT.  Guru tersebut menyebar pada sekolah Negeri maupun swasta.

Dalam pelaksanaan pembelajaran, tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) seluruh status guru adalah sama.  Guru PNS dan non-PNS memiliki beban yang serupa.  Persiapan pembelajaran, mengajar dan mengevaluasi siswa sebagai tugas pokok guru pun tak luput dilaksanakan.

Sayangnya peran GHM atau GTT, hingga saat ini belum mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.  Beban kerja sebagai bagian kewajiban adalah berstatus sama dengan PNS, namun perolehan gaji sebagai haknya adalah jauh berbeda, di bawah gaji PNS. Di satu sisi GHM atua GTT terengah-engah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Di sisi lain, guru PNS menikmati seluruh fasilitas dari pemerintah.

Dalam kenyataan ini, menjadi profesionalisme bagi guru GHM atau GTT, hampir tidak mungkin dicapainya.  Waktu yang tersita guna mengajar di beberapa sekolah demi memenuhi kebutuhan hidup kurang kesempatan untuk membangun kelayakan pendidik.  Gaji yang diperoleh tidak cukup untuk dianggarkan membeli buku dan waktu yang sempit adalah kendala dalam menunjang profesionalisme sebagai guru.

Kaburnya struktur kepegawaian GHM atau GTT merupakan masalah tersendiri yang patut menjadi keprihatinan bagi semua pihak dalam dunia pendidikan.  Pemeratan kesejahteraan bagi GHM atau GTT hendaklah mulai diatur dengan efektif dan efisien.  Pola insentif bagi guru ini mutlak diakomodasi agar memberikan manfaat sepenuhnya bagi GHM atau GTT.

Pemerintah harus melakukan berbagai revisi terhadap peraturan yang memarjinalkan GHM atau GTT.  Hal ini patut dilakukan agar keberadaan guru tersebut mendapat pengakuan yuridis. Selanjutnya, insentif yang diberikan pemerintah, seharusnya bukan disadari karena dikhotomi Guru PNS atau Guru non-PNS, seperti kata Prof. Winarno Surachmad : mereka bukanlah guru PNS atau non-PNS, mereka bukan guru negeri atau guru swasta, mereka adalah guru bangsa. Sepatutnya juga; memiliki hak yang sama.  Dengan demikian, saya berharap kepada pemegang kebijakan, baik itu skala nasional ataupun daerah, untuk mengurangi, bahkan menghilangkan ketimpangan dan juga jurang yang mengganggu terkait hak (gaji) guru.  Karena guru hakekatnya adalah profesi yang tidak boleh dikotak-kotakan, oleh sistem apapun. Semua guru adalah sama, penghargaan lebih dalam wujud gaji yang layak merupakan dampak prestasinya.

GHM atau GTT adalah guru bangsa juga guru yang juga turut mencerdaskan bangsa.  Tidak boleh ada ketimpangan dan diskriminasi.  Dan tidak boleh lagi mereka menjadi anak tiri di dunia pendidikan kita, yaitu di Republik Indonesia.


Sumber :

Sucipto Ardi ”Nasib Guru Honor Murni”  opini,  Tabloid Pena : Edisi II Tahun 1. 20 September  – 04 Oktober 2008

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama