Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara


Setiap kembali mengingat tentang gempa yang disusul tsunami di Aceh maka buku setebal 562 halaman inilah yang dijadikan cakrawala untuk memahaminya. Bertajuk Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara, buku ini terbilang komprehensif dalam melihat lebih dalam apa yang terjadi di akhir tahun 2004. Kini, sudah berselang 16 tahun, buku ini masih amat layak untuk dibaca dan dijadikan acuan rasional.

Rasional inilah yang menjadi daya tarik utama buku yang diterbitkan oleh Kompas. Dengan di-editory Cahanar, buku ini mampu masuk ke dalam dunia akademisi, bagaimana tidak, buku ini dibuka dengan pendapat ahli yang setahun sebelumnya menyatakan bahwa di pesisir utara Sumatra (Aceh) akan terjadi gempa dengan skala yang amat besar (h.xiv). Dr. Ir. Danny Hilman Natawijaya, M.Sc. adalah ilmuan Indonesia yang, bahkan sejak 4 tahun lalu sudah berbicara di tingkat Internasional akan prediksinya tersebut. Pendapatnya menjadi core dari awalan buku ini, yakni Pragempa.

Bagian 1 buku yang dominan warna hijau ini, mengisahkan bagaimana gempa yang diikuti tsunami terjadi dan antisipasi apa setelahnya. Bagian yang diberi judul Ketika Bumi Menggeliat banyak tawaran solusi penanganan dari berbagai segi keilmuan para penulis. Bagi mereka yang penyuka keilmuan tata kota, sepertinya disinilah letak “kenikmatannya”. Di telusuri satu-satu bacaan di setiap sub bab, terlihat sebuah konstruksi Aceh setelah menelan kerusakan dahsyat yang ingin mengetengahkan sebuah kenyataan bahwa kita hidup diatas karpet yang berbahaya. Harus siap setiap waktu dengan bencana dan bersahabat dengan ilmi dan teknologi keselamatan. Bagian 1 ini begitu fisik, terlihat dan teraba dengan indera.

Bagian kedua dari buku yang pertama kali terbit di tahun 2005 ini menelusuri kisah sedih, pedih, dan haru biru bagaimana penyintas setelah dihantam peristiwa bersejarah 26 Desember 2004. Kisah- kisah ini diantaranya sudah banyak ditulis, bahkan dijadikan film layar lebar. Ini jelas bukan sekedar bencana alam, namun juga tepat bila disebut sebagai bencana kemanusiaan. Bencana yang merenggut manusia sebanyak 140.00 jiwa (h.243), sekaligus menghasilkan kesengsaraan bagi mereka yang selamat. Penyintas harus menghadapi isolasi, keterbatasan makanan dan air bersih, dan tak ada tempat berteduh. Tidak berlebihan jika Kompas menamai bagian ini dengan Di Tengah Kesedihan. Bagian ini kupasannya paling banyak dibanding bagian 1 dan 3. Namun, tidak melulu yang diangkat kisah pilunya, namun pertolongan awal dari pihak TNI hingga luar negeri seakan mengajak untuk menghapus air mata untuk optimisme lebih lanjut.

Di bagian akhir buku ini, diuraikanlah bagaimana solidaritas atas nama kemanusiaan dengan cepat terbangun juga terealisasi. Beberapa sisi di Bagian Satu tentang rehabilitasi tersirat dengan baik, namun Bagian Tiga ini lebih menyeluruh. Begitu menyeluruhnya, tidak berhenti sampai disitu, malahan menjadi bahan introspeksi kita sebagai bangsa. Radhar Panca Dahana menulis: “Kejamkah Ku, Tuhan?. Terutama “kiamat kecil” itu melanda bagian dari kita yang selama ini, puluhan tahun ini, sudah kenyang penderitaan, muak dengan maut dan kekerasan, bahkan mati dalam kepuasan siksaan seperti di Aceh (h.490). Radhar sepertinya ingin mengingatkan kepada rezim ketika itu, SBY, bahwa setelah bencana ini agar dihentikanlah operasi-operasi kemiliteran seperti DOM Jaring Merah dan sejenisnya yang banyak memakan korban jiwa anak bangsa Indonesia juga, yakni Aceh. Saya meyakini, tulisan Radhar yang membuat sadar pihak Kompas untuk menempatkan judul tulisannya menjadi judul bagian terakhir buku ini: Aceh dalam Diri Kita.

Lebih lanjut, rentang waktu yang membatasi tulisan buku ini diangkat, akhir Desember 2004 hingga awal Januari 2005, sebenarnya tidak cukup melihat bagaimana “permintaan Radhar tadi” akhirnya terealisir dengan cantiknya. Setelah konflik selama 30 tahun, akhirnya pada 15 Agustus 2005, GAM dan Pemerintah RI bersepakat untuk berdamai. Hingga diakhir tahun 2020 ini, GAM terbilang menjadi daerah yang aman dari konflik bersenjata seperti dahulu.

Sebagai penutup, persis sama diawal tulisan ini dibuat, buku karya Kompas ini layak dibaca dan diperbincangkan setiap waktu karena beberapa alasan, diantaranya karena ulasan yang komprehensif dan rasional.

Demikian.



13 Komentar

  1. Jadi penasaran ingin baca buku ini.

    BalasHapus
  2. "bahwa kita hidup diatas karpet yang berbahaya"
    Kaliamat yang luar biasa...
    merasuk di hati saya, untuk selalu waspada dan selalu bersyukur atas nikmatnya
    Terimakasih Pak Cip

    BalasHapus
  3. Keren... Master Sucipto, trimks sdh mengingatkan ttg
    bencana tsunami.Kita hrs mengingat bahwa kejadian tersebut jd pelajaran hidup yg tdk terlupakan jd sedih. ..

    BalasHapus
  4. Tulisan yang menarik yang membuat orang terprovokasi untuk lebih lanjut membacanya. terima kasih ilmunya Master Cipto.

    BalasHapus
  5. Ulasan buku yang mantap dan lengkap. Terimakasih.

    BalasHapus
  6. Saya ingat tahun kemaren Pak Cipto. Mengalami banjir

    BalasHapus
  7. Kalo inget peristiwa itu Masya Allah Indonesia sangat berduka. Buku ini bagus untuk dibaca

    BalasHapus
  8. Mengenang sebuah peristiwa...modal bijak generasi menatap masa depan bangsanya..keren pak

    BalasHapus
  9. Seribu saja banyak tapi ini 140.000 ya Rabb banyak banget, sedih sekali. Tapi semua peristiwa adalah rencana Allah dan pasti ada hikmahnya, Alhamdulillah akhirnya Aceh dan RI berdamai setelah peristiwa tsb, terimakasih tulisannya yang keren pak cip

    BalasHapus
  10. Balasan
    1. Siap, tulisannya masih bagusan Pak Dosen...hehehehe...

      Hapus
Lebih baru Lebih lama