Memberdayakan Internet Dalam Pelajaran di Kelas (Analisis Artikel)

Tulisan berikut adalah analisis artikel dari sebuh situs internet. Artikel yang akan dianalisis berjudul: “Memberdayakan Internet Dalam Pembelajaran di Kelas” karya Bambang. Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian, yakni bagian satu adalah berisi artikel yang akan dianalisis, dan bagian kedua adalah hasil dari analisis oleh saya. Berikut pemaparannya.


BAGIAN SATU


Memberdayakan Internet Dalam Pelajaran di Kelas

Oleh: Bambang


Bagi sebagian besar guru di Indonesia, ide menggabungkan materi pelajaran dengan informasi yang ada di internet mungkin masih relatif baru. Tetapi di negara maju, ide ini ternyata membuahkan hasil yang gemilang. Baik guru dan murid terbukti menjadi lebih aktif dan antusias dalam mempelajari topik yang dibahas di kelas.

Berikut dibawah adalah pengalaman dari seorang guru di Amerika Serikat mengenai bagaimana memberdayakan murid melalui penggunaan internet yang baik dan benar. Marci McGowan, seorang pengajar di Amerika Serikat tidak pernah menyangka bahwa sebuh situs dapat memancing begitu banyak antusiasme murid. Hal ini terjadi setelah kelas tersebut memilki sebuah situs kelas dimana murid-murid dapat mempublikasikan hasil karya mereka di jaringan Internet dan bekerjasama lebih aktif dengan murid-murid lainnya dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok atau kelas. Selain lebih antusias, situs kelas juga mendorong murid-murid untuk lebih bangga dengan hasil pekerjaan mereka.

Selain murid, orangtua juga kini dapat mengikuti seluruh kemajuan yang dicapai anak-anaknya dengan mudah melalui situs kelas ini. Bahkan sebagian besar orangtua berpendapat situs-situs tersebut sangat informatif dan seringkali dijadikan bahan rujukan bagi anak mereka apabila naik kelas. McGowan juga mengingatkan walaupun akrab dengan internet, bukan berarti materi pengajaran tradisional ditinggalkan. Karena bagaimanapun materi-materi teks yang sudah baku tersebut telah dipakai bertahun-tahun dan terbukti berhasil. Sehingga, menurutnya, internet lebih dipandang sebagai salah satu sumber informasi yang gratis dan mudah di cari. Contohnya, dalam mengajarkan topik sejarah penemuan Benua Amerika misalnya, selain memberikan teks yang baku, murid-murid juga dilengkapi dengan poster gambar kapal laut, peta dunia, lembar tugas untuk murid dan yang tidak kalah pentingya daftar situs-situs Internet yang memuat informasi yang berhubungan dengan Benua Amerika. Menarik bukan?

McGowan juga menyatakan bahwa kini murid-muridnya memandang Internet sebagai sebuah perpustakaan raksasa untuk mencari informasi apapun. Selain itu, murid-murid juga terpacu untuk belajar dan bekerja lebih keras karena hasil pekerjaan mereka akan dimuat dalam internet. Itu berarti nama mereka akan terpampang di layar semua komputer di dunia. Bayangkan!. Lebih jauh, McGowan merekomendasikan rekan-rekan guru untuk juga menggunakan Internet dalam metode pengajaran di kelas. “Anak-anak muda sangat tertarik dengan apapun yang ada di Internet”, selain itu, “di melalui Internet, mereka juga dapat mempelajari perbedaan cuaca, macam dan jenis pekerjaan orang dewasa, bagaimana kehidupan anak-anak di negara lain, dsb, yang akan sulit dilakukan apabila hanya menggunakan buku saja. Semua hal itu dapat membantu memperluas wawasan mereka mengenai dunia”.

Bagi guru yang baru saja mulai menggunakan Internet, tip yang diberikan McGowan adalah pertama, dengan mencoba mengumpulkan sumber-sumber informasi di Internet yang aman untuk dikombinasikan dengan kurikulum, kedua mulai bergabung dalam forum diskusi antar guru dan ketiga, jangan malu untuk bertanya jawab dengan guru-guru lainnya mengenai masalah yang ditemui di kelas. Setelah ketiga tahap tersebut, mulailah melibatkan murid dalam projek online dan saksikan sendiri bagaimana antusiasme murid tumbuh dengan cepat. Dijamin.


(Sumber: http://www.sekolahindonesia.com/sidev/NewDetailArtikel.asp?iid_artikel=32&cTipe_artikel=1)


BAGIAN DUA


Analisis Artikel


Oleh:

Sucipto Ardi


A. PENGANTAR

Artikel yang disajikan merupakanan uraian tentang penggunaan internet dalam proses pembelajaran. Cara ini merupakan suatu hal yang baru bagi pendidikan di Indonesia, namun tidak demikian di luar negeri, contohnya di Amerika Serikat.

Negara besar inilah yang dijadikan contoh sukses dilaksanakannya proses tersebut. Hasilnya adalah guru dan murid menjadi lebih aktif dan antusias dalam mempelajari topik yang dibahas di kelas. Keberhasilan ini menceritakan tentang aktivitas seorang guru bernama Marci McGowan.

Berdasarkan pengalaman McGowan, terdapat beberapa hal terkait memberdayakan internet dalam pelajaran di kelas, yaitu.

Pertama, internet dijadikan bahan informasi atau pengayaan bagi mata pelajaran di kelas.

Kedua, pembelajaran tradisional-klasikal tetap dipertahankan oleh guru, sementara situs internet difungsikan sebagai salahsatu sumber informasi.

Ketiga, adanya situs milik sebuah kelas, dimana siswa dapat mempublikasikan hasil kerjanya, baik itu individu maupun kelompok. Keempat, situs tersebut dijadikan bahan rujukan bagi orang tua, baik itu untuk mengikuti kemajuan anaknya, maupun rujukan bagi anak mereka apabila naik kelas.

Kelima, oleh karena situs internet dapat diakses dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja, maka siswa dan guru terpacu untuk belajar dan bekerja lebih keras karena pekerjaan mereka di muat di internet dan terpampang di layar semua komputer di dunia apabila mengaksesnya.

Bagian akhir artikel ini, pembaca budiman seakan ditantang untuk melakukan hal yang digariskan dari pengalaman di Amerika tersebut. Selanjutnya, dengan tips yang diberikan McGowan, pembaca diajak menyaksikan bagaimana antusiasme siswa yang sedemikian rupa tumbuh dengan sendirinya. Tips tersebut ada tiga tahapan, yakni pertama, dengan mencoba mengumpulkan sumber-sumber informasi di Internet yang aman untuk dikombinasikan dengan kurikulum, kedua, mulai bergabung dalam forum diskusi antar guru dan ketiga, jangan malu untuk bertanya jawab dengan guru-guru lainnya mengenai masalah yang ditemui di kelas. Setelah ketiga tahap tersebut, mulailah melibatkan murid dalam projek online.


B. KELEBIHAN ARTIKEL

Artikel ini cukup provokatif untuk sebuah perubahan yang positif. Hal ini dikarenakan telah ada buktinya, yaitu siswa antusias dalam melakukan proses pemberdayaan internet dalam pelajaran di kelas.

Deskripsi dalam narasi cukup sederhana namun padat ini, mudah sekali dicerna. Tidak ada bahasa ilmiah yang cukup menyulitkan, dan alur berpikirnya mudah dipahami. Dan, pembaca khususnya yang berprofesi sebagai guru, akan tertarik untuk mempraktikkannya.

Bagi guru sejarah, akan lebih tertarik untuk melakukannya. Hal demikian disebabkan mata pelajaran sejarah membutuhkan media yang diharapkan mampu menghadirkan masa lalu didepan siswa dalam bentuk audio visual. Diberikan pula contoh tentang pelajaran sejarah.

Selain itu, proses pembelajaran yang dituangkan dalam bentuk situs kelas ini, adalah sejalan dengan KTSP 2006. Dengan adanya situs kelas tersebut, siswa diajak untuk bekerjasama dengan teman sekelasnya, dan secara aktif mencari dan mengolah informasi yang bersumber dari internet. Selanjutnya, hasil pekerjaan siswa ditampilkan atau diterbitkan di dalam situs kelas..

Proses pembelajaran ini menempatkan guru sebagai fasilitator. Siswa diberikan keluasan untuk mengakses internet dan menyempurnakan tugas-tugasnya, sementara guru memberikan penjelasan cara kerja, dan membimbing dalam proses penyelesaiannya.


C. KEKURANGAN ARTIKEL

Artikel yang diperoleh dari sebuah situs pendidikan berbahasa Indonesia ini, tidak memuat tanggal penerbitan. Bahkan, data yang dijadikan contoh tidak memiliki rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan karena data yang tersaji tidak berasal dari suatu lembaga tertentu yang dapat dipercaya.

Artikel ini pula, tidak menyebut sekolah Mc Gowan dan dari Negara bagian Amerika sebelah mana. Kemudian, antusiasme siswa hanya bersandar dari pendapat Mc Gowan secara pribadi, tetapi bukanlah hasil dari penelitian, dan tips yang dianjurkan merupakan sesuatu yang sudah banyak dikenal, dengan kata lain: tidak ada yang baru.

Artikel ini tergolong ringkas, bahkan untuk mengetahui proses pembelajaran yang dilakukan dengan cara memberdayakan internet terlihat sepotong-sepotong. Dalam artikel ini juga, amatlah kurang informasi secara serial bagaimana proses pembelajaran tersebut dipersiapkan, dilaksanakan, dan dievaluasi. Hal demikian mengesankan bahwa apa yang dijabarkan tidak lebih hanya berupa pengalaman manis yang jelas bersifat subjektif.

Terlebih lagi, tidak ada satupun acuan dari tokoh pendidikan guna mendukung kerangka berpikir artikel ini. Apa yang ditulis belum teruji atau merupakan pengembangan, bahkan unsur trial and error lebih mengena. Apakah pembelajaran ini dapat menciptakan hasil dan proses yang baik, tidak dapat dijawab oleh artikel ini.

Terlihat, apa yang ditulis dalam artikel ini, jauh dari yang diharapkan, baik itu kelengkapan suatu proses, maupun posisi proses tersebut dalam pembelajaran. Seharusnya, artikel ini memuat deskripsi model pembelajaran yang dilaksanakan.

Memperhatikan dari apa yang dilakukan Mc Gowan, pembelajaran yang diselenggarakannya tergolong Contextual Teaching and Learning (CTL). Untuk memperkuat pendapatnya, seharusnya dicantumkan ciri-ciri pembelajaran kontekstual sebagai berikut.[1]

1. adanya kerjasama antar semua pihak

2. menekankan pentingnya pemecahan masalah atau problem

3. bermuara pada keragaman konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda

4. saling menunjang

5. menyenagkan, tidak membosankan

6. belajar dengan bergairah

7. pembelajaran integrasi

8. menggunakan berbagai sumber

9. siswa aktif

10. sharing dengan teman

11. siswa kritis, guru kreatif

12. dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan sebagainya

13. laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan sebagainya.

Orientasi pembelajaran dalam artikel tersebut, sama sekali tidak disinggung, padahal inilah yang merupakan fokus utama dalam usaha pengembangan kemampuan anak didik juga institusinya. Kealpaan ini seharusnya disadari dengan penetapan orientasi kepada penerapan life skill. Kunandar menjelaskan, bahwa

Tujuan diterapkannya konsep pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life skill) adalah sebagai berikut. Pertama, memfungsikan pendidikan sesuai fitrahnya, yaitu mengembangakan potensi manusiawi peserta didik menghadapi perannya di masa yang akan dating. Kedua, memberikan peluang bagi institusi pelaksana pendidikan untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel dan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di masyarakat sesuai dengan prinsip pendidikan terbuka (berbasisi luas dan mendasar) serta prinsip manajemen pendidikan berbasis sekolah. Ketiga, membekali tamatan dengan kecakapan hidup agar kelak mampu menghadapi dan memecahkan permasalahan hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, masyarakat, dan warga Negara.[2]

Secara khusus, proses pengembangan potensi anak didik tersebut merupakan usaha untuk menumbuhkembangkan kecerdasan jamak anak didik. Kecerdasan jamak inilah yang tidak ada dalam artikel.

Menurut Campbell, manusia memiliki kecerdasan yang merupakan sebagai alat untuk belajar, menyelesaikan masalah, dan menciptakan semua hal yang bias digunakan menusia.[3] Gardner membaginya menjadi tujuh kecerdasan sebagai berikut.

1. kecerdasan linguistic (linguistic intelligence)

2. kecerdasan logika-matematika (logical-mathematical intelligence)

3. kecerdasan spasial (spatial intelligence)

4. kecerdasan kinestik-tubuh (bodily-kinestetic intelligence)

5. kecerdasan musik (musical intelligence)

6. kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence)

7. kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence) [4]

Memperhatikan pembelajaran yang dirumuskan Mc Gowan, seharusnya dijelaskan pula kecerdasan apa yang akan digali dan dikembangkan. Setidaknya, tercatat ada empat kecerdasan terkait dengan proses pemberdayaan internet dalam pelajaran di kelas. Pertama, dalam mengerjakan tugas secara berkelompok, anak didik mengembangkan kecerdasan interpersonal dan kecerdasan verbal. Mereka mengadakan kerjasama, dan berkomunikasi secara lisan dan tulisan. Kedua, hasil dari pekerjaan tersebut, kemudian ditampilkan ke dalam internet. Kecerdasan visual dan musik dengan sendirinya bergerak dalam tataran ini. Artinya, selain menghadirkan informasi, siswa mengembangkan pemikiran akan sebuah kemasan menarik dengan menggunakan musik dan visual yang komunikatif. Di lain hari, merekapun akan melihatnya kembali. Hal demikian, merupakan sebuah cara yang mendasar dari pengaksesan, pemrosesan, dan penghadiran informasi.[5]

Bagian penting dari sebuah proses dan akhir pembelajaran ialah evaluasi. Seperti yang disebutkan dalam artikel, orang tua turut serta mengikuti perkembangan siswa, dan bank informasi (situs kelas) sebagai acuan bagi anak mereka apabila naik kelas. Seharusnya, dalam sebuah evaluasi, peran orang tua tidak sebatas mengetahui dan melihat, akan tetapi lebih jauh dari itu. Sementara itu, siswa dalam proses evaluasi, tidak pasif, seharusnya aktif, baik itu mengevaluasi dirinya sendiri, maupun gurunya.

Pendekatan bersama tiga elemen ini (guru, siswa, dan orang tua), dikenal dengan Pendekatan Penilaian Komprehensif.[6] Dengan pendekatan ini dimungkinkan kecerdasan jamak yang melekat pada anak didik dapat dioptimalkan dan dimunculkan kepermukaan dan dilaporkan dalam bentuk rapor tertulis.

Pada proses evaluasi ini, guru, siswa, dan orang tua memiliki portofolio yang memuat interaksi ketiga elemen ini, dalam mengikuti perkembangan anak didik. Pihak guru tidak hanya membimbing anak didik, tetapi memberikan konsultasi atau komunikasi kepada orang tua, bahkan melalui kontak telefon. Dilain pihak, siswa memberikan penilaian kepada kinerja guru, dan dirinya sendiri. Ketiga elemen ini saling terhubung (interconnected). Beragam tes objektif dan non-objektif tetap digunakan, baik itu evaluasi berkala (semesteran), maupun catatan harian dalam anecdotal record.

Selanjutnya diakhir artikel, diberikan tips guna mensukseskan model pembelajaran yang pernah dilakukan Mc Gowan. Tips tersebut meruapkan uraian teknis pelaksanaan pembelajaran dengan memberdayakan internet. Seharusnya, tips yang dijabarkan dapat lebih luas cakupannya, terlebih ini tekait dengan TIK (teknologi Informasi dan Komunikasi), khususnya internet yang lazim dikenal dengan sebutan e-learning. Hal demikian mengingat pembelajaran berbasis TIK terkait erat dengan budaya belajar. Menurut Sutrisno, setidaknya ada empat komponen penting dalam membangun budaya belajar dengan menggunakan model e-learning di sekolah.[7]

Pertama, siswa dituntut secara mandiri dalam belajar dengan berbagai pendekatan yang sesuai agar siswa mampu mengarahkan, memotivasi, mengatur dirinya sendiri dalam pembelajaran. Kedua, guru mampu mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan, memfasilitasi dalam pembelajaran, memahami belajar dan hal-hal yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Ketiga tersedianya infrastruktur yang memadai dan yang ke empat administrator yang kreatif serta penyiapan infrastrukur dalam memfasilitasi pembelajaran.

Secara jelas penulis artikel membawa pembaca kepada proses pembelajaran berbasis TIK, terutama dengan contoh di Amerika Serikat dan tips-tipsnya. Seharusnya, dilengkapi dengan penjabaran yang seimbang dengan model pembelajaran klasikal dengan materi teks yang sudah baku dan telah dipakai bertahun-tahun serta terbukti berhasil. Kenyataan ini melihat sikap skeptis dari para praktisi pendidikan itu sendiri.

Dalam pendidikan.net, Rekdale, seorang Education & Technology Consultant, menyatakan bahwa

Yang perlu diperhatikan adalah inovasi-inovasi baru (dan sering yang tidak baru) akan ditunjuk dan didorongkan oleh perusahaan-perusahaan teknologi yang sangat beruntung kalau teknologinya didadopsi di dunia pendidikan. “Tetapi kita sebagai pendidik harus selalu melihat semua aplikasi teknologi dari kenyataan dan keuntungan terhadap mutu pendidikan” (bukan dari retorika).[8] Sudah ada banyak sekali retorika mengenai “Internet dan Pendidikan” di Indonesia. Tetapi di mana buktinya? Hasil penelitiannya di mana? Di mana buktinya (evidence) bahwa e-Learning di Internet dapat meningkatkan mutu proses belajar mengajar? Di sekolah-sekolah di luar negeri (pada umumnya) peran Internet masih hanya sebagai sumber informasi.[9]

Dalam pendidikan, teknologi berfungsi sebagai medium. Berhasil atau gagal, bergantung pada contens dan proses pembelajaran. Hasil sekolah yang bagus 100% tergantung mutu pendidikan, dan bukan teknologi yang mereka gunakan untuk menyampaikan pendidikannya. Teknologi, terutama TIK adalah alat bantu, bukan solusi pendidikan.

Dengan demikian, pada bagian akhir artikel seharusnya diungkapkan pula tips dalam menggunakan alat bantu (TIK) tersebut di dalam kelas. Terkait dengan itu, Rekdale mengemukakan bahwa

dalam mengunakan Internet di kelas perlu kemampuan manajemen dari guru yang sangat tegas (dan siap membagi waktu di luar kelas untuk menyiapkan tugas siswa dan bahan-bahan) supaya siswa-siswi tidak akan membuang jam pelajaran yang sangat terbatas. Soalnya, belum tentu bahan dari sumber lain akan bermutu atau cocok dengan kebutuhan siswa-siswi kita.[10]

Berdasarkan ulasan tersebut di atas, sudah seharusnya guru, siswa, dan orang tua untuk dapat saling terhubung untuk terjalinnya sebuah perhatian yang lebih intensif bagi pendidikan. Dengan memperhatikan tantangan globalisasi dan semangat reformasi, maka transparansi dan pembenahan moral menjadi orientasi bersama, baik itu warga sekolah, maupun pemerintah.


D. KESIMPULAN

Artikel yang menceritakan tentang pemberdayaan internet dalam pelajaran di kelas, adalah jauh dari ideal sebuah proses pembelajaran. Seharusnya, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, diuraikan secara komprehensif, baik itu ringkasan ataupun pendapat para ahli sebagai pendukung opininya. Pada proses tersebut, harus pula ditekankan orientasi life skill dan usaha menumbuhkembangkan potensi kecerdasan jamak yang dimiliki anak didik.

TIK yang secara khusus dicontohkan dengan situs dalam internet, diposisikan sebagai alat Bantu yang kemudian didesain dengan contend an proses pembelajaran yang sesuai kebutuhan siswa. Sehingga, harapan sebuah pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna dapat telaksana dan dicapai dengan baik.


End Note:

[1] Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajagrafindo, 2007), hh.276-277.

[2] Ibid, h. 268.

[3] Linda Campbell, dkk, Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences, (Depok: Intuisi Press, 2005), h. 2.

[4] Ibid, hh.2-3.

[5] Ibid, h. 140.

[6] Ibid, h. 302.

[7] Sutrisno, E-learning di Sekolah dan KTSP, h.1, 2007

(http://re-searchengines.com/0807sutrisno2.html).

[8] Phillip Rekdale , Teknologi dan Pendidikan Sedang Mengalami Dikotomi, h. 1, 2008,

(http://e-pendidikan.net/dikotomi.html)

[9] Phillip Rekdale , Apakah E-pendidikan Adalah Mimpi?, h. 1, 2008,

(http://e-pendidikan.net/ims.html#mimpi)

[10] Ibid.


Daftar Rujukan

Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, Jakarta: Rajagrafindo, 2007.

Linda Campbell, dkk, Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences, Depok: Intuisi Press, 2005.

Rekdale, Phillip, Teknologi dan Pendidikan Sedang Mengalami Dikotomi, 2008, (http://e-pendidikan.net/dikotomi.html)

Rekdale, Phillip, Apakah E-pendidikan Adalah Mimpi?, 2008,

(http://e-pendidikan.net/ims.html#mimpi)

Sutrisno, E-learning di Sekolah dan KTSP, 2007

(http://re-searchengines.com/0807sutrisno2.html).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama