Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912 dan GAM



 A. PENGANTAR

Selama Indonesia berdiri sebagai sebuah negara, historiografi tentang perang menjadi salah satu yang paling banyak diproduksi, baik itu oleh pemerintah, bahkan kaum intelektual seperti sejarawan. Sejarah perang yang dilukiskan, kebanyakan terkait erat dengan dinamika politik dan ekonomi, dan tampaknya memang itulah yang seringkali terungkap dari masa lalu nusantara. Perlawanan elit kerajaan dan elit lainnya yang kemudian didukung rakyat, dideskripsikan melakukan aksi peperangan karena adanya penjajahan serta himpitan ekonomi yang disebabkan oleh sistem yang diterapkan kaum kolonialis. Para penulis sejarah tidak patut dipersalahkan dalam hal ini, karena menyangkut sumber sejarah yang menyisakan jejak masa lalu dan seringkali tidak lengkap, biasanya ditulis berdasarkan sesuatu yang menarik (umumnya adalah politik dan ekonomi) dan tentunya aspek yang disoroti terpengaruh oleh pandangan dan kepentingan penulis sejarah yang sudah barang tentu subyektif. Ini adalah hal yang lazim terjadi dalam dunia sejarawan.

Salah satu produksi sejarah yang dalam beberapa bagiannya sesuai dengan kenyataan tersebut adalah buku yang berjudul: Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912 buah karya Ibrahim Alfian, seorang Teuku dan sejarawan akademik asal Aceh. Buku ini menarik, karena beberapa alasan sebagai berikut: pertama, cukup mewakili genre historiografi yang hidup di Indonesia tahun 1980-an yang kental dengan nuansa perlawanan lokal dengan perang-perangnya, kedua, berbeda dengan sejarah perang yang selalu membicarakan strategi mengalahkan lawan, buku ini ingin menjawab kekuatan yang mendorong orang Aceh tetap terus berperang melawan kekuatan asing, ketiga, studi sejarah dalam buku ini adalah master of detail yang digali dari sumber tertulis dan bercerita dari kedua sisi, baik yang banyak dan berasal dari arsip-arsip Belanda maupun yang sedikit berasal dari surat dan karya sastra orang Aceh.

Beliau tidak memfokuskan kepada latar belakang persaingan politik ekonomi yang menimbulkan Atjeh-oorlog (Perang Aceh) serta kelemahan struktur kesultanan Aceh dalam menghadapu ujian dari pihak luar, akan tetapi mencari sesuatu dibalik tindakan orang Aceh dalam aksi perang yang berlangsung lebih dari tiga dasawarsa. Bilamana disandingkan dengan konflik GAM dengan NKRI berdasarkan waktu, masa sepanjang itu tenyata terulang kembali sampai akhirnya berdamai pada tanggal 15 Agustus 2005 setelah melakukan perundingan super alot pasca reformasi, dan peristiwa Tsunami 26 Desember 2004, telah mengendurkan kedua belah pihak itu. Kita akan melihat kedua peristiwa perang dan konflik tersebut!.


B. DARI ATJEH-OORLOG SAMPAI KONFLIK GAM-NKRI

(Sebuah Perbandingan)

Buku yang merupakan repackage dari disertasi Alfian ini, diterbitkan dua tahun sebelum pemerintah NKRI melalui ABRI menerapkan operasi jaring merah, DOM di Aceh. Buku ini salah satu karya terbaik putra Aceh yang dibangun dalam kerangka ilmiah sekaligus mengembangkan nilai-nilai kebanggan rakyat Aceh. Kuntowjoyo (2008; 68) menyebutnya sebagai buku yang pebuh dengan detail. Ini tapat adanya dan selama berhubungan erat dengan Atjeh-oorlog, maka dijelaskan secara rinci, contohnya saja tentang azimat yang dipakai ulama.

Detailnya perang ini dilihat mulai akhir abad ke 19 ketika Belanda menumpuk kekuatannya di perairan Singapura, tidak lama setalah penandatanganan Traktat London 1871 dengan Inggris. Traktat ini adalah deklarasi legalitas bagi Belanda untuk memperluas wilayah kekuasaannya di pulau Sumatra, dan tidak lagi dihalang-halangi oleh kekuatan besar lainnya, dalam hal ini ialah Inggris. Orang-orang Aceh yang sangat taat beragama merasa terancam oleh kehadiran orang kaphe’ di perairan Singapura itu. Ternyata kemudian pada tahun 1873, Belanda memaklumkan perang terhadap Aceh.

Perang Aceh dibagi beberapa fase yang saling bersentuhan. Waktu fase kedua bermula, fase pertama masih berlanjut. Ketika agresi dilancarkan Batavia, maka yang terjadi ialah perang dari dua Negara. Inilah fase pertama (1873-1875), disaat perang berada dibawah komando Sultan atau yang mewakilinya. Tetapi, kemudian setelah dalam (keraton) diduduki dan sultan mangkat, sementara sultan yang baru dinobatkan masih dibawah umur (usia 3 tahun), maka Atjeh-oorlog berubah menjadi perang-perang di daerah yang dipimpin para uluebalang, melawan gerak maju tentara Hindia Belanda. Struktur kenegaran yang relatif lemah serta keterikatan antara sultan dengan uleebalang melalui surat pengabsahan uluebalang (sarakata) dan bantuan ekonomis dari uluebalang kepada sultan, menjadikan hubungan antara dalam dengan wilayah kekuasaan uluebalang terganggu faktor luar lainnya. Begitulah ketika faktor luar telah berhasil melumpuhkan dalam, maka uluebalang-uluebalang lebih banyak bertindak sendiri daripada menunggu instruksi dari sultan.

Inilah fase kedua (1876-1896), ketika para uluebalang tampil sebagai pemimpin dan sultan atau wakilnya lebih merupakan unsur pemersatu daripada sebuah komando. Fase ini merupakan sejarah terpanjang dan paling berdarah dari Atjeh-oorlog. Tak lama uluebalang-uluebalang terkemuka di sepanjang pantai Timur telah dapat ditaklukkan, maka mereka yang masih hidup bersedia menerima pengaturan kekuasaan baru dengan mengakui kedaulatan Hindia Belanda. Ketika itulah perang rakyat berkecamuk dengan ulama sebagai pemimpinnya. Di bawah kepemimpinan ulama, perang bukanlah sekedar menyabung nyawa dalam membela negeri, tetapi juga sebagai tindakan yang secara spiritual bermakna. Dengan demikian, perangpun disakralkan, dijadikan sebagai tugas suci. Mati tidaklah berarti berakhirnya kehidupan, akan tetapi sebaliknya sebagai awal mula kehidupan yang semurninya dan keabadian yang menjanjikan kebahagian tanpa henti. Dibawah ulama, ideologisasi perang dilakukan sehingga mati dalam melawan kafir adalah syahid di jalan Allah dan itulah sesungguhnya kehidupan seorang muslim yang taat dalam konteks perang. Fase ketiga (1896-1903) diakhiri dengan memnyerahnya Tuanku Muhammad Daud Syah pada 1903. Kemudian fase keempat (1903-1912) ialah perlawanan di Aceh Besar (1903-1912), di Pidie (1902-1913), di Aceh Tengah dan Tenggara (1903-1912), dan di Aceh Barat (1903-1912).

Berdasarkan fase-fase perang tersebut, ternyata lebih kepada perbedaan corak kepemimpinan. Oleh sebab itu, betapapun para uluebalang harus berperang sendiri-sendiri dan para ulama kemudian lebih banyak tampil dalam memobilisasi massa, namun wibawa sultan sebagai pewaris sah dari dalam serambi mekkah, tetap diakui. Dalam buku ini pula, tidak terlalu banyak memperlihatkan aspek ekonomi dan diplomatik dari perang yang lama itu dan dirasakan pula kurang menonjolkan kegetiran dan kepahitan perang dari rakyat Aceh menghadapi gerak maju Hindia Belanda. Pada sisi inilah, pola historiografi indonesiasentris telah meminggirkan rakyat, sejarah tanpa rakyat, sekaligus dapat menyampaikan suatu view from within, pandangan orang Indonesia sendiri mengenai kisah bangsanya. Pada sisi yang lain, disaat yang bersamaan Belanda menjadi bagian yang patut dihancurkan, selain keyakinan agama yang menganggapnya sebagai kaum kafir (kape’), juga diposisikan sebagai pihak yang tidak memberikan sesuatu yang positif.

Dari jajaran peristiwa-peristiwa perang tersebut, kemudian timbul pertanyaan, apakah arti peristiwa jika suatu suasana kesadaran yang melatarbelakangi semua itu tak diketahui dengan jelas?. Dimanakah sumber kekuatan Aceh sehingga bisa bertahan demikian lama, bahkan hampir tanpa henti? (h. 11). Sumber yang dimaksud berada pada pembinaan ummat dalam fase kedua Atjeh-oorlog, yakni ideologisasi perang agama (Islam). Untuk membangun argumennya, disajikan fakta bahwa pasukan Aceh selalu mengumandangkan kalimat la ilaha ilallah dan allahu akhbar disetiap perang-perangnya, adanya literatur keagamaan hikayat perang sabil, dan dibaginya wilayah menjadi dua, yaitu darul Islam (tempat tinggal orang Islam) dan darul harb (wilayah perang), sementara tujuan perang adalah mengusir kaphe’. Atjeh-oorlog ini adalah jihad fi sabilillah. Semuanya itu menunjukkan bahwa Atjeh-oorlog termasuk dalam perang agama bagi orang Aceh.

Itulah tinjauan sejarah lokal yang tidak kontemporer, sehingga hasilnya hanya mampu diperdebatkan pada tataran interpretasi, dan kajian terhadap jejak-jejak sejarah. Namun tidak demikian bila berbicara konflik GAM yang para pelaku sejarahnya masih hidup. Apakah kisahnya seheroik seperti pada Atjeh-oorlog ?, atau GAM memiliki tradisi hikayat perang sabil seperti yang dibina terus menerus di masyarakat pada masa Belanda?, dan mengapa konflik antara GAM dengan NKRI sedemikian lamanya seperti dalam Atjeh-oorlog ?. Untuk menjawab semua tanya itu membutuhkan penelitian lebih lanjut, namun setidaknya di sini dapat diasumsikan bahwa konflik antara GAM dan NKRI belumlah, atau bukanlah perang melawan kaphe’ seperti dalam Atjeh-oorlog.

Konflik yang terjadi ialah bentuk ekspresi atas ketidakadilan yang diperoleh Aceh setelah bergabung dengan Indonesia. Ekspresi ini dikuatkan dengan truth-claims atas masa lalu yang dimiliki Aceh dengan gemilang, sebagai kejayaan sekaligus kebanggaan tanah rencong. Terkait dengan itu, setidaknya ada tiga peristiwa historis yang sangat berpengaruh dalam kesadaran Aceh. Ketiganya ialah jaman keemasan Sultan Iskandar Muda di abad ke 17, Atjeh-oorlog, dan Revolusi Fisik 1945. Arti penting jaman Sultan Iskandar Muda, terutama terletak pada interpretasi sejarah bahwa kerajaan Aceh teramat megah dengan diwarnai penaklukan negeri-negeri disekitarnya. Selain itu ialah hasil maha karya para pemikir dan sufi Islam sebagai landasan struktural dan kultural Aceh sebagai serambi mekah. Kekuatan ini kemudian teruji dalam Atjeh-oorlog, dan lagi-lagi, Aceh menunjukkan kedigdayaannya dengan melahirkan tokoh heroik seperti Teuku Umar, Panglima Polem, Cik di Tiro, dan seterusnya. Sedangkan pada periode Revolusi Fisik, keterlibatan Aceh menunjukkan proses mengurangi segi ke-Aceh-annya dan melebur menjadi Indonesia sebagai warga bangsa, apalagi mengingat kenyataan pada masa itu Aceh adalah satu-satunya wilayah di tanah air yang terbebas dari injakan tentara Belanda. Ini memperlihatkan pula bagaimana kebesaran hati orang Aceh demi kesadaran nasional dan dengan seruan keagamaan yang dihembuskan ulama, mereka memberikan apa saja yang diperlukan bagi perjuangan nasional guna merebut kemerdekaan.

Truth-claims tersebut kemudian menciptakan gambaran bahwa Aceh lebih tinggi dengan kisah-kisah heroiknya, dan tentunya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat secara hukum internasional, terutama merujuk pada Traktat London tahun 1824. Klaim akan kebenaran melalui narasi sejarah ini menjadi demikian penting karena dianggap sebagai dasar kesadaran sejarah yang fungsinya untuk memperkokoh identitas nasional atau kolektif (Nordholt, Purwanto, dan Saptari 2008; 1). Dengan sistem kerja yang sistematis-terkoordinir, Hasan Tiro telah menempatkan dirinya sebagai sentra perjuangan kepentingan Aceh dan pelanjut silsilah kepahlawanan Aceh yang tergolong besar, yaitu Cik di Tiro. Dia didukung oleh sekian banyak massa dikarenakan rakyat percaya bahwa keberlanjutan sejarah Aceh yang gilang-gemilang terwakilkan olehnya.

Ketiga memori sejarah itu ditambah sosok pahlawan baru, terinternalisasi sedemikian rupa dalam diri orang Aceh, sehingga mereka meyakini kebenaran bahwa mereka adalah bangsa yang besar, dan dengan bangunan sejarah yang ada itu, mereka bersemboyan: “memimpin adalah takdir kami” (www.acehforumcommunity.com). Konsekuensi logisnya, tidak ada satu kekuatan secara politik yang membuat mereka harus tunduk, apalagi cerita dari mulut ke mulut di daerah pedesaan yang dihembuskan oleh kombatan GAM melalui orang yang dianggap sepuh, meyakinkan orang Aceh tetap seperti dulu yang gilang gemilang. Keadaan ini semakin mentradisi dan termitoskan karena banyaknya penipuan-penipuan negara terhadap rakyat Aceh sejak masa Soekarno hingga Suharto (Jihad 2000; 5), terutama harapan penerapan syariat Islam yang hilang sejak Aceh menggabungkan diri dengan Indonesia tahun 1945. Dengan tidak adanya penerapan syariat Islam di Aceh yang telah hidup berabad-abad, sama saja menolak pemaknaan dan realitas bahwa Aceh sebagai serambi mekkah.

Di saat yang bersamaan, kesadaran sejarah itu ternyata tidak relevan dengan realitas objektif di bumi rencong. Ketimpangan banyak terjadi, antara pusat dan daerah pembangunannya amat kontras. Orang Aceh memprotesnya melalui ungkapan: “di Jakarta sedikit sungainya, tapi banyak jembatannya, namun di Aceh banyak sungainya, tapi sedikit jembatannya”. Rasa ketidakadilan selanjutnya semakin mengeras. Bagi mereka yang teramat tertekan dengan NKRI dan brutalitas tentaranya, memunculkan emosi yang sedemikian rupa, seperti benci, amarah, dendam, dan seterusnya. Dalam situsi seperti inilah banyak orang akan mencari referensi sejarah untuk membenarkan sebagai legitimasi terhadap aksi yang akan dilakukannya. Tidak berlebihan, maka tidak sedikit yang merapat dengan GAM, apalagi organisasi ini telah membangun mitos baru, yakni pimpinannya sebagai penerus pejuang Tiro (Jihad 2000; 22). Abu Jihad yang juga pernah ikut bertempur melawan NKRI bersama Hasan Tiro, menyatakan bahwa berdasarkan kajian sejarah, Hasan Tiro bukanlah keturunan Tiro dan bukan juga keturunan raja. Lanjutnya, Hasan Tiro berbeda, dia berjuang mencari pangkat dan jabatan, untuk mengejar obsesinya menjadi raja Aceh (Jihad 2000, 2001; 23, 27). Walaupun begitu, masyarakat percaya kalau Hasan Tiro penerus Cik di Tiro, pahlawan Aceh.

Di lain pihak, pemerintahan yang sentralistik represif di Jawa, melanjutkan sentimen primordial. Dampaknya ialah terjadi pengusiran hingga pembunuhan kaum transmigran suku Jawa oleh kombatan GAM, dan penguasaan sektor ekonomi-politik di Aceh oleh suku Jawa, membuat konflik menjadi semakin meluas. Kalau pada jaman Atjeh-oorlog, orang Aceh mengistilahkan Belanda sebagai kaphe’, maka masa GAM, rakyat Aceh yang merasa tertekan selama berdirinya Republik Indonesia menyebutnya sebagai kaphe’Indonesia-Jawa (Jihad 2000; 8). Sebutan yang terakhir ini, tampaknya kurang memiliki landasan keagamaan yang kuat, namun lebih kepada sisi primordial, yang dalam beberapa kasus disamaartikan dengan sejarah nasional Indonesia, yaitu sebagai Jawa-sentris. Termarjinalkannya orang Aceh yang kaya akan sumber daya alam oleh sistem politik dan pembangunan oleh dominasi Jawa, menjadi pijakan kuat bahwa Indonesia adalah musuh bersama yang harus dienyahkan. Adalah masuk akal maka konflik berlangsung lama sekali, hampir mencapai tiga puluh tahun (1976-2005).

Kekuatan dibalik lamanya konflik yang terjadi antara GAM dengan NKRI, bukan masalah ekonomi dan politik yang hampir seluruhnya dikuasai oleh orang Jawa, namun bentuk keberhasilan Hasan Tiro melegitimasi dirinya sebagai pelanjut perjalanan Aceh dengan membangun sejarah yang meyakinkan rakyat Aceh bahwa beliau dengan bala tentaranya sebagai pembela dan penyelamat masa depan serambi mekah. Mitos sejarah yang dibangunnya memiliki relevansi pada basis realitas objektif di Aceh yang tidak sesuai dengan harapan seperti masa kejayaan masa lampaunya, terutama menyangkut penerapan syariat Islam. Masalah dominasi Jawa di Aceh, dan kekerasan sentralistik yang mengikutinya melalui DOM selama sepuluh tahun, adalah realitas penguat kebenaran mitos sejarah, dan kenyataan ini pula yang kemudian melahirkan ribuan, bahkan jutaan simpati terhadap GAM. Mitos sejarah bahwa Hasan Tiro bersama GAM akan memerdekakan dari Indonesia telah menemukan basis kebenaran, dan banyak orang yang membenarkannya, lalu ikut bersama GAM, baik itu berperang ataupun sebagai simpatisan laten yang potensial, seperti Gubernur Aceh sekarang: Irwandy Yusuf.

Melihat fenomena demikian, tampaknya linear dengan pernyataan Benedetto Croce: every true history is contemporary history (sejarah yang benar adalah sejarah kontemporer). Interpretasi sejarah yang pragmatik ini menegaskan bahwa sebenarnya masa lalu itu sudah mati kecuali terjalin dengan minat dan kepentingan masa kini. Sejarah telah menunjukkan salah satu fungsinya, dan amat mungkin selamanya akan seperti itu (sebagai truth-claims).


C. PENUTUP

Pembahasan makalah ini berangkat dari dua peristiwa yang sama-sama berlangsung lama melintas lebih kurang tiga dasawarsa, yaitu Atjeh-oorlog (Perang Aceh 1873-1912) dan konflik GAM-NKRI (1976-2005). Masalah keduanya diletakkan pada “sesuatu dibalik peristiwa” dengan masalah pokok: dimanakah sumber kekuatan Aceh sehingga bisa bertahan demikian lama, bahkan hampir tanpa henti dalam Atjeh-oorlog dan konflik GAM-NKRI?.

Kekuatan Aceh dalam Atjeh-oorlog (Perang Aceh) hingga mampu bertahan lama, terletak pada ideologi perangnya. Elit dan rakyat Aceh memandang perang melawan Belanda sama saja perang suci yang ganjarannya ialah surga, dan sebagai muslim yang taat maka mereka merasa terpanggil untuk angkat senjata hingga kaphe’ tersebut hengkang dari bumi rencong. Sedangkan pada konflik GAM-NKRI, kekuatan Aceh bersumber pada keberhasilan GAM dalam membangun mitos sejarah bahwa Hasan Tiro dan bala tentaranya adalah pelanjut perjalanan negeri serambi mekah. Masa lalu yang dibangun menempatkan Hasan Tiro sebagai keturunan pahlawan ternama, yakni Cik di Tiro, dan kepadanyalah sosok pemimpin Aceh disematkan (sebagai wali nanggro). Dalam prosesnya, ternyata mitos itu sesuai dengan realitas obyektif di Aceh yang membutuhkan penyelamat karena pembangunan politik dan ekonomi telah meminggirkannya, dan harapan akan terlaksana penerapan syariat Islam sebagai kerinduan rakyat Aceh termasuk dalam isu yang diusung GAM bila merdeka dengan NKRI.

Masih banyak pandangan yang canggih untuk mengungkap fenomena yang berlangsung di Aceh kini ataupun lalu. Undangan untuk melakukannya diharapkan sesuai orientasi historis yang ilmiah sekaligus adil, dan tepat guna bagi kebutuhan sekarang demi kemaslahatan Republik Indonesia ini, tanpa harus melukai saudara kita dibelahan nusantara tercinta dari Sabang sampai Merauke.


DAFTAR PUSTAKA


Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan, 1987.

Jihad, Abu. Pemikiran-pemikiran Politik Hasan Tiro dalam Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta: Titian Ilmu Insani, 2000.

Jihad, Abu. Hasan Tiro dan Pergolakan Aceh. Jakarta: Aksara Centra, 2001.

Kuntowijoyo. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.

Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari Ratna. Memikir Ulang Historiografi Indonesia, dalam: Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari Ratna. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: YOI dan KTLIV, Bali: Pustaka Larasan, 2008.

http://www.acehforumcommunity.com

7 Komentar

  1. Isinya, Masya Allah, sangat lengkap dan detail membahas perang.

    Saya sekadar saran, karena topik ini tentang sejarah dan biasanya membuat orang bosan mungkin, paragrafnya dibuat kecil saja.

    Di sini, paragrafnya sangat padat dan kesannya jadi melelahkan mata. Dibuat dua atau tiga kalimat saja dalam satu paragraf.

    Terima kasih.

    BalasHapus
  2. Mengingat kembali GAM yang menyedot perhatian publik Indonesia.

    BalasHapus
  3. Jadi teringat kembali saat saya dalam perjalanan Palembang - Medan via bus, pada tahun 2003. ....

    BalasHapus
  4. Sejarah perang di ungkapkan secara gamblang dan terperinci, sepertinya pencinta sejarah ya pa

    BalasHapus
  5. Sejarah yang sangat berharga nih. Saya yakin banyak yang tidak tahu yang sebenarnya. Perlu dijaga agar tidak hilang ditelan zaman.

    BalasHapus
  6. Pak Cip, apakah ada infografis nyaaa... hehehehe
    Agar tidak ngos-ngosan membacanya...

    Blog sejarah yang menjadi referensi oleh masyarakat.
    Terimakasih sudah berbagi

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama