POST MODERNISME DALAM HISTORIOGRAFI DAN PANDANGAN PROF. BAMBANG PURWANTO


Post modernisme (postmo) adalah gerakan untuk melawan, bahkan menolak arus utama modernisme, ada pula yang mengganggapnya sebagai anti-modernisme dan anti-positivisme. Selanjutnya postmo diartikan sebagai bentuk kesadaran yang menginginkan pembaharuan, bahkan perombakan dalam dunia moderen. Berbagai standarisasi yang sifatnya universal, dan teori-teori besar yang menjadi panduan keilmiahan ilmu moderen, terpatahkan. Postmo menolak pikiran tentang kebenaran universal (universal truth) yang mencari metanarrative (narasi besar) atau grand theory (kerangka-kerangka teoritis besar untuk menjelaskan makna segala sesuatu). Pikiran-pikiran mendasar modernisme ditolak, digantikan dengan penjelasan-penjelasan mikro (microexplanations) dan keragu-raguan. Postmo belajar mengkontekstualisasi, mentoleransi relativisme, dan menyadari selalu ada perbedaan (Sjamsudin 2007; 336-337). Dengan kata lain, semangat postmo menganut sikap relativisme dan pluralisme (Oen 2001; 3).

Pandangan tentang postmo itu pada awalnya menggambarkan semangat jaman yang mencakup dunia filsafat, akan tetapi dalam perkembangan berikutnya ternyata merambah kepada bidang yang lebih luas (Pardede 2007; 1), salah satunya ialah sejarah. Kandungan sejarah pada buku yang terbit selama Orde Baru dan arah sejarah Indonesia sejak lengsernya Soeharto pada Mei 1998 amat gencar dipertanyakan, historiografi indonesiasentris yang telah menjadi tradisi intelektual dikritik dengan pedasnya. Penulisan sejarah Indonesia moderen mengalami gugatan. Narasi besar itu dipertanyakan eksistensi dan keberlanjutannya. Qou vadis sejarah nasional Indonesia?. Disorientasi mungkin merupakan kata yang paling tepat untuk dilabelkan pada historiografi Indonesia saat ini (Purwanto 2006; xii). Kesadaran itu tidak hanya bentuk kerisauan dan ketidakpuasan sejarawan terhadap tradisi keilmuan yang telah ditata selama ini, tetapi juga dipengaruhi oleh jiwa jamannya, yakni reformasi. Tidaklah berlebihan, maka berbagai konstruk dan konsep yang selama ini dipahami sebagai kebenaran tidak lagi dapat diterima oleh masyarakat yang telah memiliki jiwa jaman yang berbeda (Purwanto 2005; 1).

Sejak tahun 1957, ketika kongres pertama sejarah nasional Indonesia digelar hingga akhir abad 20, historiografi Indonesia mengalami pekembangan yang kurang membanggakan, dengan meminjam istilah Geertz; involusi, sejarah Indonesia seakan masih “dijaman kolonial”. Historiografi indonesiasentris yang mampu menghadirkan pandangan dan orang Indonesia menjadi aktor utama dalam sejarah nasional yang juga dilandasi kaedah keilmuan moderen, ternyata tak ubahnya seperti sejarah yang ditulis kolonialis Belanda. Artinya, tetap saja rezim kolonial yang menjadi fokus penulisan biarpun dalam arti yang negatif (Purwanto 2005; 22).

Historiografi Indonesia tidak menjadi media pencerahan, kecuali sebagai antithesa dari kolonialisme yang melekat pada historiografi masa sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan, historiografi yang diproduksi hanya melihat “hitam-putih” untuk menghasilkan mereka yang benar di satu sisi, dan mereka yang salah disisi lain. Selanjutnya “mengkerdilkan” peran pihak yang diposisikan sebagai musuh dan selalu jadi pecundang dengan “menggemukkan” peran pihak pemenang sebagai pahlawannya. Tidak hanya sampai disini, pelukisan masa lalu ditandai oleh pengingkaran elemen tertentu dalam sejarah Indonesia, atau menjadikan kelompok tertentu sebagai pesakitan sejarah yang menjadi tempat dimana segala kesalahan dan kegagalan ditimpakan. Sejarah benar-benar telah menjadi sebuah ideologi praktis, historiografi bukan lagi sebagai representasi dari realitas masa lalu, melainkan lebih menyerupai topeng, yang menutupi dan memberi citra yang berubah-ubah untuk melegitimasi kekuasaan (Purwanto 2008; xxiii, xxiv, xxvii). Dengan kata lain, kerja historiografis di Indonesia selama ini cenderung menghasilkan mitos-mitos baru, baik dalam arti membuat interpretasi baru atas mitos lama yang sudah ada maupun memproduksi mitos-mitos baru, daripada menghadirkan kenyataan dari masa lalu (Purwanto 2008; xxi). Jenis historiografi ini, dilabelkan oleh Bambang Purwanto sebagai “historiografi kambing hitam dan historiografi oknum” (Purwanto 2005; 11-12, 2008; xxiv).

Kenyataan akan keberadaan jenis historiografi tersebut menjadi sebuah indikator untuk menyatakan adanya permasalahan didalam dunia sejarah Indonesia. Para sejarawan Indonesia, khususnya para sejarawan akademik jarang sekali menyadari bahwa kehidupan intelektual mereka telah lama dibentuk oleh mitos dan hal-hal yang bersifat doktriner, daripada cara berpikir yang mampu menghadirkan realitas masa lalu yang berdimensi kritis dan manusiawi. Akibatnya, mencari kambing hitam merupakan tujuan dari konstruksi mereka, dan sekaligus kambing hitam juga menjadi sebab jika terjadi kesalahan pada konstruksi historis yang dilakukannya. Selain itu, menggunakan bahasa para birokrat atau politisi yang kalut, yakni: oknum. Kata oknum menjadi media yang paling mudah untuk digunakan sebagai pembersihan diri jika ditemukan kenyataan akan adanya kekurangan atau kesalahan pada diri sejarawan (Purwanto 2005; 10-11). Merekalah yang seharusnya bertanggungjawab secara keilmuan bagi perkembangan historiografi Indonesia (Purwanto 2008; 267), tapi tidak termasuk sejarawan yang memenuhi persyaratan keilmuan dan diluar pola tersebut.

Permasalahan selanjutnya setelah produksi sejarah dan sejarawan Indonesia, ialah tekanan politik penguasa seperti yang banyak dikemukakan selama ini terutama berkaitan dengan Orde Baru. Tanpa bermaksud menisbikan faktor eksternal, persoalan utama dari historiografi Indonesia pascakolonial lebih disebabkan oleh kerancuan dan keterbatasan baik secara epistemologis maupun metodologis (Purwanto 2008; 267). Akibat dari hal tersebut tidak ada perubahan secara struktural, dengan salah satu contohnya, yakni tidak berkembangnya kajian sejarah sosial dan sifat semu dari keberadaan orang kebanyakan dalam historiografi Indonesia (Purwanto 2008; 268). Untuk itu diperlukan sebuah perspektif baru, yaitu sebuah kajian sejarah yang lebih mampu memahami secara kualitatif kehidupan sehari-hari orang kebanyakan, sehingga mampu mengungkapkan sisi manusiawi dari kenyataan masa lalu (Purwanto 2008; 271). Upaya untuk mengembangkan sejarah masyarakat, sejarah orang kebanyakan, dan sejarah kehidupan sehari-hari dalam kerangka sejarah sosial oleh sejarawan Indonesia sangat relevan bagi perkembangan historiografi Indonesia di masa depan (Purwanto 2008; 275).

Melalui perspektif alternatif yang memadukan antara sejarah multimensional dan sejarah yang manusiawi, kajian seperti history of the inarticulate atau the underside of history diharapkan akan mendapat tempat dalam historiografi Indonesia. Sejarah bukan hanya sejarah orang kecil yang memberontak, melainkan seluruh sejarah orang kecil dan sejarah masyarakatnya. Perspektif alternatif ini diharapkan menghasilkan historiografi yang mampu membangun masyarakat yang demokratis, memiliki trust, menerima multikulturalisme, tidak mendeskreditkan minoritas, tidak menampik arti mayoritas, tidak memungkiri perbedaan, tidak membuat kategorisasi yang diskriminatif terhadap peristiwa, dan tidak harus menerima keseragaman. Historiografi yang dihasilkan juga akan berfungsi sebagai kontrak sosial bagi rekonsiliasi, sadar bahwa tidak ada pahlawan tanpa cela, dan mengakui bukan hanya masa lalu orang besar atau pahlawan saja yang memiliki arti penting secara sosial untuk disebut sejarah. Paradigma baru ini diharapkan akan menjadi dasar bagi konsep neo-Indonesiasentrisme atau post-Indonesiasentrisme dalam historiografi Indonesia di masa depan, yang sekaligus berfungsi untuk membebaskan diri dari sakralisasi dan mitologisasi sejarah, termasuk sejarah nasional (Purwanto 2005; 50-51). Perspektif alternatif tersebut menegaskan bahwa tradisi historiografi indonesiasentris yang didasarkan cara pandang nasionalistik dengan dukungan sejarah struktural, sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, atau sejarah multidimensional dalam tradisi positivistik yang sangat dominan selama ini, bukan seperti sebuah kitab suci yang tidak bisa digugat dan diformulasikan kembali. Menulis sejarah tidak harus dalam dalam satu tradisi seperti yang telah dikenal selama ini, ada cara-cara lain yang dapat dilakukan. (Purwanto 2006; xix).

Sejarah sosial baru Indonesia yang digagas oleh Bambang Purwanto, merupakan sebuah reaksi terhadap tradisi sejarah sosial di negeri ini yang masih meminggirkan atau melupakan rakyat kebanyakan. Tradisi sejarah sosial multidimensional yang dibangun oleh Sartono Kartodirjo dan kadang-kadang sering diartikan secara salah (Purwanto 2008; 276), tergolong sudah usang dan kurang mewakili kebanyakan masyarakat, baik itu di pedesaan, apalagi di perkotaan. Hal demikian dipahami, karena sejarah sosial yang berkembang di Indonesia identik dengan “petani miskin di pedesaan yang karena tertindas oleh kuasa dominan, kemudian melakukan perlawanan”. Sudah saatnya, harus ada keluasan dalam memandang masa lalu. Perhatian terhadap kehidupan masyarakat dalam keseharian yang mendetail, mampu menunjukkan sejarah sosial yang lebih manusiawi sekaligus beragam, adalah alternatif yang ditawarkan.

Secara metodologis, selain mampu melepaskan sejarah sosial dari ketergantungan ilmu-ilmu sosial, perubahan perspektif juga akan membawa sejarawan pada sumber-sumber sejarah yang terabaikan dan tidak konvensionalm seperti yang terdapat pada memori popular, wacana lisan, dokumen visual, ruang publik, atau audio (Purwanto 2008; 273). Sejarawan seyogyanya tidak terpaku dengan sumber tertulis seperti yang selama ini digunakan sebagai satu-satunya sumber sejarah yang paling diyakini keabsahannya, masih banyak kemungkinan lain yang dapat dijadikan pondasi fakta bagi usaha merekonstruksi masa lalu Indonesia.

Arah baru sejarah sosial di Indonesia ini, merupakan buah pikir Bambang Purwanto yang cukup konsisten sejak awal millenium. Beliau meyakini narasi besar yang dominan dalam sejarah nasional Indonesia segera ditinggalkan, karena tak ubahnya seperti historiografi yang ditulis oleh Belanda dijaman kolonial yang memiliki perspektif “hitam-putih” dengan “historiografi kambing hitam dan historiografi oknum” sebagai new product atau repackage dijaman republik yang merdeka ini. Ajakan untuk menggali lebih beragam tentang masa lalu oleh professor UGM tersebut, bukan hanya justifikasi tradisi sejarah di Indonesia banyak kekurangan, namun juga rangsangan untuk memperluas sejarah sosial yang telah hidup di Indonesia menjadi lebih canggih, serta lebih memfokuskan kepada orang biasa dengan melihat bagaimana cara menjalani hidupnya. Apa yang digagasnya melalui perspektif baru ini, sama saja membongkar sekat-sekat, membaca berbagai kemungkinan, dan melawan tradisi yang sudah mapan. Inilah social scientific history dengan nuansa postmo yang menguat.

Dengan demikian, postmo dalam historiografi merupakan kesadaran intelektual sejarawan untuk menggagas perspektif alternatif penulisan sejarah dalam menjelaskan masa lalu manusia yang mengedepankan dan menghargai sisi keberagaman, perbedaan, dan manusiawi, serta tidak menyandarkan dengan tradisi positivistik yang identik dengan makna moderen berikut teori-teori besar yang dihasilkannya, dan itu seringkali menjadi mono tafsir dominan dalam arus utama claim truth realitas objektif historis.


DAFTAR PUSTAKA


Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan, 1987.

Ali, R. Moh. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Frederick, H. William. (Diindonesiakan Oleh Hermawan Sulistyo). Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Jakarta: Gramedia, 1989.

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Kuntowijoyo. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.

L. Herlina, Nina. Belanda Tidak Pernah Jajah Indonesia Ratusan Tahun (http://brianadi.web.id/2008/03/09/belanda-tidak-pernah-jajah-indonesia-ratusan-tahun/) yang direkam pada 7 November 2008.

Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari Ratna. Memikir Ulang Historiografi Indonesia, dalam: Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari Ratna. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: YOI dan KTLIV, Bali: Pustaka Larasan, 2008.

Notosusanto, Nugroho (Editor). Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Oen, Yulia. Etos Postmodern (http://reformed.sabda.org/etos_postmodern) yang direkam pada 7 November 2008.

Pardede, Jimmy. Postmodern & Home Alone yang direkam pada 7 November 2008.

Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia VI (Edisi ke-4). Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

Purwanto, Bambang. Sejarawan Akademik dan Disorientasi Historiografi: Sebuah Otokritik, dalam: Purwanto, Bambang dan Adam, Asvi Warman. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2005.

Purwanto, Bambang. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Ombak, 2006.

Purwanto, Bambang. Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia, dalam: Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari Ratna. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: YOI dan KTLIV, Bali: Pustaka Larasan, 2008.

Purwanto, Bambang. Ketika Historiografi Hanya Sebuah Topeng (Kata Pengantar), dalam: McGregor, Katherine E. (Penerjemah: Djihana Oka; Penyunting: Rumekso Setyadi). Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat, 2008.

Sjamsudin, Helius. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2007.

Tambunan, A.S.S, Soebijono, dan Mukmin, Hidayat. (Editor: Nugroho Notosusanto). Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama