INDONESIASENTRIS DAN PERSPEKTIF SEJARAH ORDE BARU : Perbedaan dan Contohnya



Perspektif sejarah indonesiasentris menunjukkan dua babak baru dalam sejarah Indonesia. Pertama, sebagai titik balik historiografi tentang Indonesia yang selama ini bersifat netherlandsentris, kemudian selanjutnya digantikan dengan indonesiasentris. Kedua, dimulainya historiografi Indonesia moderen oleh orang Indonesia dan di negerinya sendiri, dengan ditandai berlangsungnya Seminar Sejarah Nasional Indonesia pertama di Yogyakarta tahun 1957.

Indonesiasentris dalam historiografi dapat berarti sejarah yang ditulis, menjadikan orang Indonesia sebagai fokus utamanya, dan dilihat dari sisi pandang bangsa tersebut. Secara teoritik dan filosofis, didalam tradisi indonesiasentris, sejarah Indonesia dipahami dari dalam yang berorientasi pada masyarakat Indonesia sebagai sebuah keutuhan bangsa (Purwanto 2006;11). Dengan kata lain, perspektif yang digunakan ialah perspektif Indonesia (Ali 2005; 263). Oleh karena Indonesia masih tergolong negara yang baru merdeka, bangsa Indonesia harus membikin sejarahnya lagi yang bertolak pangkal dari bangsa dan negaranya, dan berujung pada politik masa depan (Gazalba 1981; 184).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka indonesiasentris berarti bagian dari perpolitikan untuk membangun national identity. Proses national building for national identity yang dilakukan republik ini, menuntut suatu rekonstruksi sejarah sebagai sejarah nasional yang akan mewujudkan kristalisasi identitas bangsa Indonesia (Kartodirjo 1992; x). Kenapa dibutuhkan?, mengapa penulisan sejarah dan klaim akan kebenaran (truth-claims) tentang masa lalu menjadi demikian penting?. Hal ini karena sejarah sebagai dasar kesadaran sejarah yang fungsinya untuk memperkokoh identitas nasional atau kolektif (Nordholt, Purwanto, dan Saptari 2008; 1). Secara lugas, perspektif indonesiasentris menyampaikan suatu view from within, pandangan orang Indonesia sendiri mengenai kisah bangsanya (Notosusanto 1993; vii).

Pendapat sejarawan tersebut memberikan pemahaman bahwa perspektif historiografi indonesiasentris, aktor utamanya ialah orang Indonesia. Bilamana diibaratkan sebagai sebuah film, bangsa non- Indonesia mendapat peran figuran, bahkan sebagai lawan dan bermusuhan dengan orang Indonesia. Penelitian sejarah yang ilmiah sekalipun, kemudian terpengaruh, atau banyak pula yang ‘tunduk’, terhadap ‘skenario film’ ini. Selayaknya dalam film layar lebar produksi Hollywood, maka perlawanan, konflik, dan berbagai benturan dilihat secara hitam-putih, malaikat-setan, benar-salah, dan tentunya orang Indonesia ditampilkan sebagai pemenang dan lainnya menjadi pecundang. Hasil dari sebuah proses yang cukup panjang, maka indonesiasentris diletakkan sebagai salahsatu pondasi nasionalisme, pada titik nadirnya dibawah alam sadar, historiografi jenis ini terinternalisasi menjadi ‘ideologi’ nasionalisme (Indonesia). Selanjutnya, historiografi indonesiasentris mencirikan dirinya selaras dengan ungkapan bangsa Inggris yang terkenal itu; right or wrong, (Indonesia) is my country.

Benar adanya bila dalam indonesiasentris berkembang historiografi moderen dengan historical explanation yang lebih rasional dan analitis, atau meminjam ungkapan Passmore adalah intelligible (dimengeti secara cerdas). Melihat realitas yang beragam dan kompleks, maka pendekatan multidimensional untuk menjelaskan proses sejarah Indonesia, kemudian menjadi cirinya. Pendekatan ini mampu memunculkan pandangan orang Indonesia dalam menanggapi tantangan di masa lalu.

Analisis dari aspek sosiologis dan antropologis orang Indonesia diangkat ke permukaan guna menjelaskan tindakannya. Aspek ekologis setempat, gaya hidup elit lokal, dan tafsir ulang oleh orang Indonesia terhadap nasionalisme dan globalisasi yang berasal dari luar negeri, menguak pandangan dari dalam bangsa ini. Historiografi yang dibangun dengan model ini adalah sejarah sosial, sebuah social scientific history, yang masih bernuansa politis, ‘hitam-putih’.

Dengan demikian historiografi indonesiasentris tidak hanya bernuansa politis, namun juga ditopang semangat dan kekuatan keilmuan. Untuk yang pertama, nuansa politis, adalah baik untuk pendidikan. Sejarah diposisikan sebagai usaha sadar untuk mengajarkan masa lalu guna memetakan masa depan demi hidup yang lebih arif dan bijaksana. Pada saat yang bersamaan, sejarah ditujukan untuk membentuk karakter bangsa. Yang kedua, nuansa keilmuan, adalah tepat untuk sebuah kebenaran ilmiah yang diakui secara umum dalam dunia akademik. Dengan kata lain, ini merupakan sebuah rumusan kombinasi didaktik plus ilmu yang dapat menghasilkan pengetahuan batin’ tentang sejarah Indonesia (Ali 2005; vi).

Contoh sejarah dengan perspektif indonesiasentris dapat dilihat dari buku dengan judul Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirjo. Peletak dasar pendekatan multidimensional ini, menganalisis mengapa rakyat Banten melakukan gerakan sosial. Multikausal dijelaskan melalui pendekatan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-kultural. Penelitian itu mengungkap respon rakyat Banten, aristrokat tradisional, dan elit agama terhadap kekuatan kolonial (Kuntowijoyo 2008; 42-44). Disaat yang bersamaan, Belanda ditempatkan sebagai pihak yang sah untuk dimusuhi bahkan dilimpahkan kesalahan serta kekerasan. Hal yang serupa juga disajikan Ibrahim Alfian dalam bukunya: Perang di Jalan Allah. Teori eklektik yang dihasilkan pakar sosiologi Amerika Seriat Neil J. Smelser dalam bukunya Theory of Collective Behavior, dikemas Alfian untuk melihat aksi perang sabil orang Aceh sebagai wujud interpretasi aktor sejarah terhadap lingkungannya (Alfian 1987; 11). Belanda menjadi bagian yang patut dihancurkan, selain keyakinan agama yang menganggapnya sebagai kaum kafir (kape’), juga diposisikan sebagai pihak yang tidak memberikan sesuatu yang positif.

Selanjutnya sejarah indonesiasentris yang agak malu-malu, dikemukakan oleh William H. Fredrick tentang peristiwa 10 November 1945 dengan judul Pandangan dan Gejolak (1989). Buku ini melihat dinamika dan peran rakyat, dalam hal ini ialah rakyat Surabaya sejak akhir masa Hindia Belanda, Jepang, dan awal revolusi fisik, merentang waktu antara 1926-1946. Didalamnya hadir pandangan-pandangan priyayi, pemuda, dan rakyat biasa di kota Surabaya serta sekitarnya meyangkut revolusi Indonesia, sementara itu Belanda menjadi pihak yang salah karena tidak sejalan dengan pandangan mereka. Belanda patut diganyang karena tidak membawa manfaat bagi revolusi.

Contoh-contoh tersebut, mengetengahkan sebuah usaha untuk mendalami pandangan orang Indonesia sendiri mengenai kisah bangsanya sekaligus menjadikan Belanda sebagai musuhnya secara politis.Sejarah indonesiasentris terus berkembang sedemikian rupa, sampai kritikan pedas muncul seiring semangat jaman mulai berubah sejak reformasi 1998. Tahun tersebut adalah babak awal bagi berakhirnya kekuatan politik Orde Baru selama 32 tahun menguasai Indonesia. Selama lebih dari tiga dasawarsa itu pula sejarah dengan perspektif indonesiasentris memancarkan muka yang berbeda. Berbeda oleh karena sejarah politik selalu ditampilkan sebagai arus utamanya, tidak seperti dulu dimana sejarah sosial juga dikembangkan secara bersama-sama. Ini dapat dipahami dengan memperhatikan jamannya. Penulisan sejarah indonesiasentris jaman Orde Lama, dibangun sebagai perbenturan antara kolonialisme dan imperialisme melawan nasionalisme Indonesia, dimana rakyat semesta ikut serta berjuang. Dampaknya ialah model sejarah sosial yang baru dikenal, kemudian tergiatkan, setidaknya sampai akhir tahun 1970-an, ketika kekuatan negara dan tentara merangsek masuk ke dalam kesadaran warganya melalui sejarah.

Historiografi indonesiasentris yang nasionalis, lokal, dan sosial yang didukung pemerintah, bertahan sampai tahun 1977, ketika pemimpin penulis buku sejarah nasional Indonesia, Sartono Kartodirjo, menerbitkan untuk terakhir kalinya “buku babon” tersebut dengan sambul berwarna biru. Historiografi indonesiasentris ketika itu tetap bernuansa “hitam-putih” dengan model sejarah sosial yang menguat. Sejarah nasional dilihat sebagai hasil pergulatan bersama elit dan rakyat, dengan Soekarno sebagai pusatnya. Sikap hati-hati presiden pertama republik terhadap geliat militer, melahirkan sebuah tatanan negara yang normal, yakni militer dibawah wewenang politikus sipil, militer sebagai alat negara, dan militer tidak terlibat dalam kancah politik. Keadaan ini pula menghasilkan historiografi indonesiasentris yang non-militer, artinya eksistensi militer diakui namun tidak mendominasi panggung sejarah Indonesia sebagai satu-satuny faktor penentu arah bangsa.Ketika Orde Baru benar-benar berkuasa, yakni tahun 1980-an, historiografi indonesiasentris mengalami revisi. Nuansa “hitam-putih” masih dipertahankan dan sejarah nasional digantikan dengan sejarah militer yang dipolitisir. Inilah perspektif sejarah yang dikembangkan pada masa Orde Baru. Ciri utama historiografi nasional yang dibangun selama Orde Baru adalah sentralisasi negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer dan produk sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Negara terwakilkan oleh Suharto, dan militer didelegasikan kepada Nugroho Notosusanto. Bersama penggagas dwi fungsi ABRI, A.H. Nasution, mereka membangun sejarah nasional yang militeristik. Masa lalu Indonesia direduksi selayaknya norma militer yang “satu komando”, dan sejarah nasional berubah menjadi (ber)seragam-tunggal. Sehubungan dengan itu, Katherine E. Mc Gregor menyatakan bahwa bangunan historiografi yang menyeragamkan cara orang Indonesia memaknai dan merekonstruksi masa lalunya merupakan buah dari keberhasilan militer menempatkan ideologinya sebagai pusat berpikir historis. Militer sebagai sebuah institusi dan ideologinya telah berhasil membangun citra baik untuk melegitimasi dirinya sendiri maupun kekuatan yang didukungnya melalui pemaknaan tunggal dan naratif tunggal pada konstruksi masa lalu Indonesiasentris (Mc Gregor 2008; xxiii).

Narasi sejarah tunggal atau seragam yang telah dibangun, memiliki dua keutamaan besar bagi Orde Baru dan ABRI. Pertama, sebagai legitimasi naiknya Orde Baru ke panggung politik guna memimpin Indonesia dengan cara memproduksi versi peristiwa G30S yang tabu untuk diperdebatkan selama Suharto memimpin. Kedua, sebagai pengokohan kekuatan militer di Indonesia dengan menempatkan ABRI sebagai penyelamat bangsa dan penjaga stabilitas politik ekonomi republik ini. Kedua-duanya masih dalam seragam yang sama: ABRI, sehingga sejarah nasional yang dikembangkan hanya untuk membela eksistensi kebenaran militer menguasai negara, bahwa militer lebih dominan dari sipil, militer sebagai faktor penentu keberlanjutan bangsa ini yang rentan isu disintegrasi, dan militer sah berpolitik. Untuk yang terakhir inilah, perspektif sejarah Orde Baru dikembangkan, yakni melegalkan dan mempertahankan dwi fungsi ABRI. Dengan kata lain, sejarah yang dibangun adalah untuk melegitimasi rezim, baik itu Orde Baru maupun kolektivitas institusi ABRI. Keduanya dapat diberi garis pembeda, namun tidak dapat dipisahkan. Bilamana berbicara tentang Orde Baru, maka ada ABRI didalamnya, dan ABRI merupakan bagian dari kekuatan Orde Baru. Secara konseptual ABRI adalah institusi militer dan Orde Baru adalah institusi sipil, namun dwi fungsi ABRI telah meluaskan intervensi militer kesemua sistem pemerintahan sipil, dari yang terendah hingga tertinggi, termasuk kedalam kabinet Orde Baru. Sekali lagi, sejarah nasional Indonesia ketika itu, merasionalkan kenyataan tersebut (dwi fungsi ABRI).

Historiografi dengan semangat ini dapat dicontohkan dalam buku berjudul Pejuang dan Prajurit (1984) dengan Nugroho Notosusanto sebagai editornya. Narasi sejarah yang dibangun merupakan penjabaran konsepsi dan implementasi dwi fungsi ABRI, dari awal proses kemerdekaan sampai ketika buku itu diterbitkan. Terlihat dengan jelas bagaimana sejarah disusun untuk merasionalkan, melegalkan, dan melegitimasi sebuah keharusan peran militer dalam bidang politik, bahkan sosial dan seterusnya. Belanda yang sampai tahun 1950 dianggap sebagai musuh tiap generasi dan selalu membawa dampak negatif, kemudian tergantikan dengan bahaya komunisme dan gerakan Islam garis keras yang membutuhkan sentuhan militer agar Indonesia menjadi tentram kembali. Boleh jadi, buku inilah satu-satunya yang tersebar luas di masyarakat tentang kajian dwi fungsi ABRI secara komprehensif, sekaligus didalamnya merupakan bagunan sejarah yang menjadikan militer sebagai penentu masa lalu, juga masa depan bangsa.

Buku lain yang editornya juga Notosusanto, berjudul Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969 (terbit tahun 1985). Buku ini memaparkan secara terbuka bagaimana Soeharto dan militer meraih tahta kekuasan Indonesia dengan mencari kekuatan legitimasinya melalui krisis 30 September 1965, dan melekatkannya dengan aspirasi rakyat untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang juga dimobilisasi oleh militer. Lagi-lagi, militer dilukiskan menjadi kekuatan satu-satunya bagi keberlanjutan perjalanan bangsa ini dengan menyajikan kekacauan dan kerusakan sebelum hadirnya Orde Baru, dan ABRI-lah yang kemudian datang bak pahlawan menyelesaikan semua masalah tersebut. Penjelasan sejarah demikian tak ubahnya narasi yang terdapat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) “buku babon” bersampul abu-abu jilid VI (1993), yang juga dieditori oleh professor sejarah militer (politis), Nugroho Notosusanto.

Setelah pakar sejarah militer-politis Orde Baru meninggal dunia secara tiba-tiba akibat pendarahan otak di bulan Juni 1985, keberlanjutan sejarah nasional tidak mengalami perubahan yang berarti. Perspektif sejarah Orde Baru yang seragam-tunggal tetap bertahan sampai akhir abad 20, keadaan itu disebabkan: bukan karena sejarawan Indonesia tidak produktif menghadirkan tulisan yang menantang dominasi militer dalam sejarah atau melawan versi sejarah Orde Baru, akan tetapi kekuatan represif militer diberbagai bidang yang membuat historiografi di Indonesia tetap dalam narasi besar yang telah digariskan dalam “buku babon” enam jilid karya Nugroho Notosusanto (editor), terutama jilid V-VI.

Dengan demikian sejarah nasional Indonesia dengan perspektif indonesiasentris yang sudah menjadi tradisi, sebenarnya memiliki dua bentuk yang cukup berbeda dan selalu diwarnai oleh pengaruh kekuasaan. Ketika Soekarno memimpin republik ini hingga awal Orde Baru, indonesiasentris yang bersifat politis menempatkan kolonialis-imperialis (Belanda) melawan nasionalisme Indonesia, dan model sejarah sosial masih mendapat tempat yang cukup dalam narasi sejarah nasional. Pada masa Orde Baru, ciri yang melekat pada diri Belanda sebagai segmen negatif dan selalu kalah tetap dipertahankan dalam sejarah nasional yang semakin monotipe, yaitu militeristik-politis. Konsekuensi rasionalnya, kemudian menempatkan militer menjadi faktor utama kestabilan perjalanan sejarah Indonesia dengan mewujudkan jati dirinya sebagai penyelamat bangsa dari ancaman komunisme dan gerakan Islam garis keras. Dengan kata lain, sejarah yang dibangun Orde Baru ialah sejarah dengan perspektif tunggal-seragam untuk membela dominasi militer diberbagai bidang kehidupan, yakni sebuah usaha mempromosikan, mempertahankan, dan melanggengkan konsepsi dwi fungsi ABRI.


DAFTAR PUSTAKA


Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan, 1987.

Ali, R. Moh. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Frederick, H. William. (Diindonesiakan Oleh Hermawan Sulistyo). Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Jakarta: Gramedia, 1989.

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Kuntowijoyo. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.

L. Herlina, Nina. Belanda Tidak Pernah Jajah Indonesia Ratusan Tahun (http://brianadi.web.id/2008/03/09/belanda-tidak-pernah-jajah-indonesia-ratusan-tahun/) yang direkam pada 7 November 2008.

Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari Ratna. Memikir Ulang Historiografi Indonesia, dalam: Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari Ratna. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: YOI dan KTLIV, Bali: Pustaka Larasan, 2008.

Notosusanto, Nugroho (Editor). Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Oen, Yulia. Etos Postmodern (http://reformed.sabda.org/etos_postmodern) yang direkam pada 7 November 2008.

Pardede, Jimmy. Postmodern & Home Alone yang direkam pada 7 November 2008.

Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia VI (Edisi ke-4). Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

Purwanto, Bambang. Sejarawan Akademik dan Disorientasi Historiografi: Sebuah Otokritik, dalam: Purwanto, Bambang dan Adam, Asvi Warman. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2005.

Purwanto, Bambang. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Ombak, 2006.

Purwanto, Bambang. Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia, dalam: Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari Ratna. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: YOI dan KTLIV, Bali: Pustaka Larasan, 2008.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama