Kontroversi Sejarah dan Pembelajaran Sejarah di Sekolah (Wawancara: Part 1)



Akhir tahun lalu, saya berhubungan dengan salah satu wartawan kampus, Mbak Naila namanya. Saya diberi tawaran untuk diwawancara tentang kontroversi sejarah dan bagaimana pembelajarannya di Sekolah. Menarik. Namun sampai hari ini, kami belum pula komunikasi lagi karena kesibukan saya. Entah juga, apakah wawancara ini jadi diterbitkan atau tidak.

Diluar itu semua, sesuai tanggapan yang “Mbak Naila” berikan pada tulisan saya tentang Pembelajaran Sejarah, maka hasil wawancara tersebut diterbitkan. Selamat membaca!.

1. Sebagaimana yang telah banyak dibanking oleh para sejarawan Indonesia terkait kontroversi sejarah Indonesia, Layakkah wacana ini masuk dalam bangku sekolah?


JIKA LAYAK

– Sejak kapan dapat diterapkan

Yang pertama perlu dipahami, bahwa kita sedang memasuki masa dimana terjadinya reaksi penolakan terhadap narasi besar yang selama ini dianggap benar, dalam hal ini segala sesuatu yang berasal dari pemerintah, antara lain sejarah yang diproduksi pemerintah dan penerapannya di sekolah. Sampai hari ini, saya belum melihat sejarah yang kontroversial dianggap penting oleh pemerintah untuk anak sekolah, ini terbukti tidak ada nuansa kurikulum yang demikian. Namun dengan adanya KTSP, yang memberikan keluasan pengembangan kepada guru, saya kira kontroversi sejarah memungkinkan dibangku sekolah, dan itu layak. Layak sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dengan adanya kajian kontroversi dalam tubuh sejarah Indonesia, sebenarnya siswa belajar sebuah keberagaman, dan beda pendapat. Kedua hal yang sudah seharusnya ditumbuhkembangkan di Indonesia yang berkemajemukkan. Dan, sudah barang tentu, membangkitkan rasa ingin tahu, analisis, dan diharapkan nantinya dalam kehidupan nyata, siswa dapat berpikir dulu sebelum bertindak (think before act) dengan membandingkan pemikiran selayaknya dalam memahami kontroversi dalam sejarah. Jadi kapan diterapkan?, kapan dapat dijawab: ketika Indonesia sudah siap berbeda pendapat yang sesungguhnya, baik itu dari guru, pemerintah, dan diantara siswa. Kapan juga dapat dijawab: ketika siswa sudah memiliki daya pikir yang lebih kompleks, memiliki daya analisis dalam memaknai sesuatu. Sekitar kelas 9. Kelas 10, 11, dan 12 amat memungkinkan sekali, bahkan harus, bilamana guru memang ingin mengembangkan kompetensi siswa. Saya kira metodenya sudah tersedia, yaitu critical thinkin ala konstruktivisme.


– Apa saja yang harus dipersiapkan oleh guru dalm proses pembelajarannya?

Utama bagi saya ialah niatan untuk mengembangkan potensi anak didik. Dan seperti pada umumnya seorang guru, perencanaan yang matang, baik itu guru yang kaya akan keilmuannya, juga kreatif dalam proses pembelajarannya, sehingga siswa tidak kehilangan semangat belajarnya. Namun, yang juga penting adalah memberikan pemahaman, mengapa mereka menjadi penting untuk belajar. Selanjutnya bagi guru, tinggalkan sikap otoriter dan gemar mengomel, namun arahkan, bimbing, dan motivasilah siswa. Mereka butuh teman, bukan hanya seorang guru yang dianggap ”orang tua, orang dewasa”.


– Model dan media apa yang bisa digunakan/tepat untuk pembelajarn sejarah yang kontroversi ini? (dalam bentuk skenario pembelajarn yang bapak gunakan sekarang)

Kalau untuk kontroversi sejarah, dapat berupa penelitian sederhana mengenai kasusnya dan selanjutnya dibuat 2 kelompok yang berbeda pendapat, saling bertentangan untuk menemukan kebenaran secara faktual, ilmiah. Saat seperti ini, guru dibutuhkan arahan yang sama ilmiahnya dan jeli dalam melihat makna dibalik peristiwa. Media yang digunakan ialah media cetak yang memuat pemberitaan terbaru kasus kontroversial, membandingkan buku yang lama, dan browsing di internet. Kontroversi terletak pada kekuatan analisis otak, dan tentunya melalui pengindraan terhadap bermacam sumber belajar. Artinya, kalau anak didik masih gemar ”disuapi” gurunya, maka porsi membangkitkan semangat membaca, menggali informasi, menjadi tambahan pekerjaan untuk guru.


– Apakah bapak menyarankan anak didik untuk memiliki buku pelajaran?

Yang saya sarankan selalu membaca buku, apakah memiliki sendiri atau membeli, bukan menjadi masalah. Buat apa punya buku kalau tidak dipelajari?. Memang baiknya adalah punya buku dan mempelajarinya. Karena dengan memiliki buku, kita dapat berbuat banyak dengannya, misal: menggarisbawahi materi yang penting, sehingga saat datangnya evaluasi, kita tidak perlu membaca seluruh isi buku, karena buku lain menanti untuk dibaca. Atau, karena milik sendiri, kita dapat dengan leluasa membuat catatan penting di buku kita. Namun yang perlu dipahami, dijaman internet dan kaya sumber belajar seperti sekarang ini, buku pelajaran bukan harga mati, hanya salah satu pilihan. Guru dapat membuat daftar referensi lainnya, atau menyarankan membelinya di kios buku bekas.


– Seberapa besar peran buku pelajaran (buku pegangan anak) dalam pembelajaran?

Saya pikir amat besar. Oleh karena, yang saya tahu, membuat buku pegangan bagi siswa membutuhkan, bukan hanya keilmuan yang mumpuni, namun segi psikologi perkembangan siswa menjadi sorotannya. Pernah membayangkan apa hasilnya nanti, bila siswa salah konsumsi buku, misalnya untuk melihat perjuangan Soekarno memproklamirkan Indonesia merdeka, siswa membaca buku Di Bawah Bendera Revolusi, Nasakom, atau belajar tentang Tan Malaka, siswa memahami Madilog?….Artinya, buku pegangan anak amat besar perannya, karena tapat sasaran, sesuai perkembangan kepribadiannya.


– Adakah peran media massa sekarang terhadap pembelajarn kontroversial ini? Biasanya media massa apa yang bapak gunakan untuk membantu dalam pembelajaran

Saya kira media apapun memiliki peran menyoal pembelajaran, setidaknya sebagai media yang memaparkan bukti-bukti baru, sebuah informasi terkini hasil kajian terhadap fakta. Biasanya, pakar sejarah ditampilkan. Media yang biasa saya gunakan adalah internet, artikel koran, analisis ahli, dan tentunya acara talk show di televisi yang membahas kontroversi tersebut. Thanks to Political reformation since 1998, yang memungkinkan ini lebih banyak diangkat ke publik, jadi anak didik setidaknya mengetahuinya, mudah mengaksesnya.


– Apakah keberadaan museum yang ada di Kota Jakarta mempengaruhi pembelajaran?

Pasti. Selain sebagai sumber belajar, sebenarnya museum adalah membentuk opini publik, apalagi siswa yang dalam setahun minimal diajak ke sana.


– Seberapa besar pengaruhnya?

Saya kira hampir sama dengan media pembelajaran lainnya, hanya lebih menarik karena berbentuk audio-visual, dan lebih ”hidup” disebabkan dibuat seakan-akan seperti aslinya. Dan, tidak lupa, karena museum rata-rata di luar kelas, nuansa penyegaran dan, boleh jadi sebagai usaha berwisata, maka menjadi daya tarik tersendiri.


– Apakah bapak sering mengoptimalkan fungsi museum sendiri dalam interaksi dengan anak didik saat pembelajaran? Bentuknya seperti apa?

Sering-tidaknya, bergantung kepada kemampuan apa yang digali dalam diri siswa dan apakah tepat menggunakan media museum. Dalam setahun, minimal ada sebuah kunjungan massal ke beberapa museum dalam satu hari, namun disaat yang berbeda saya juga menyarankan mereka pergi ke sana dan membuat laporan yang sudah saya buat draf pertanyaannya. Saya juga berada disana yang sifatnya mandiri, tanpa dikoordinir sekolah, dan saya penanggungjawabnya.


– Melihat keberadaan museum apakah sudah cukup representatif untuk membantu dalam pembelajaran sejarah?

Kalau standar minimalnya adalah sarana memperoleh informasi dalam bentuk yang berbeda dari teks-teks dalam buku, saya kira museum sekarang ini cukup baik. Namun, kalau representatif sebagai usaha membantu pembelajaran sejarah, rasanya masih jauh sekali. Kenapa?, karena museum di Indonesia, umumnya didirikan karena faktor politis semisal tugu peringatan sebuah moment bersejarah atau pahlawan nasional, namun belum karena: seratus persen alasan keilmuan, akademis.


– Apakah perlu desain ulang untuk museum yang ada di Indonesia ini?

Saya pikir bukan hanya perlu, namun mendesak. Sekarang ini, erosi nasionalisme dan jati diri sedang terjadi, maka museum dengan nuansa ilmiah sebagai pembentukan opini publik yang baru dan itu lebih rasional diharapkan segera dibangun, dan tentunya polesan nsionalisme Indonesia tetap dipertahankan. Kalau belum mampu mendirikan yang baru, maka adakan modifikasi. Namun, harapan saya untuk menjadi kenyataan sekarang ini, dimana Indonesia sedang ”pailit”, adalah sulit. Yang saya tahu, biaya untuk museum itu amat mahal, terutama pembuatannya.


Angan-angan apa yang ingin bapak ciptakan untuk museum Indonesia kedepan?

Museum yang mendidik, mendidik untuk sebuah semangat ilmiah-akademis, dan mendidik untuk manusia Indonesia yang cinta terhadap tanah air. Artinya, saya memimpikan lahirnya sebuah museum sebagai ”sarang” anak Indonesia untuk menjadi manusia cerdas dan berkeindonesiaan (multikultural), tidak melulu supranasionalis yang membutakan alam pikiran sehat, dan museum tidak hanya mengkonsentrasikan dirinya sebagai usaha pembentukan opini publik untuk syahwat legitimasi sebuah rezim.


– Perlukah setiap sekolah memiliki museum sendiri? Atau mungkin di tempat bapak sudah tersedia? Sejak kapan, dan bagaimana untuk menciptakan itu semua? Tips dan Trik bagi sekolah yang minim sarana maupun finansialnya.

Memiliki sebuah museum sendiri di sekolah, bukanlah sesuatu yang urgen, namun dibutuhkan sebagai sumber belajar yang menarik. Di sekolah kami, ada semacam ”museum” yang memuat benda-benda sejarah yang dikenal laboratorium IPS. Yaaa, cukup baik, walaupun masih minim koleksinya. Kalau tanya kapan, saya kira: lebih cepat lebih baik. Bagi sekolah yang minim sarana dan finansialnya, jangan berputus asa. Pembuatan proposal yang menarik, saya kira akan mendatangkan sebuah hasil yang baik pula. Kami pernah melakukannya untuk penambahan koleksi perpustakaan. Dan, saya kira, selain ”menunggu bagian” dari pemerintah daerah dan itu membutuhkan itikad terhadap kemajuan pendidikan yang memadai, mencarai dukungan dari orang tua murid (masyarakat), dan lembaga ”peduli pendidikan” menjadi salahsatu pilihannya. Sekarang banyak lembaga yang konsern terhadap pendidikan, tinggal pihak sekolah yang aktif ”menjemput bolanya”.


TIDAK LAYAK


– Jika tidak layak, kapan sekiranya Indonesia siap untuk memasukkan wacana kontroversi ke dalam bangku sekolah?

Saya pikir, ketika Indonesia sudah siap beda pendapat, dimana semangat demokrasi yang sesungguhnya sudah terasa di berbagai lini kehidupan, terutama pendidikan. Kalau dihitung waktu, jika reformasi berlangsung sesuai harapan, boleh jadi 5-10 tahun mendatang, artinya harus ada proses berkesinambungan antara SD, SMP, dan SMA. Jangan tiba-tiba di SMP langsung diberikan kasus kontroversial, namun seharusnya ditata jauh sebelumnya. Evolusi, jangan revolusi.


– Adakah batasan usia yang tepat untuk mengkonsumsi ini?

Ada, yaitu antara umur 12-19 tahun, ketika tahap pemikiran kritis mulai berkembang. Dan, saya pikir, pandangan Vigotsky, Piaget, Bruner, dan ilmuan yang berkecimpung pada psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan, akan sangat membantu menjelaskannya.


– Adakah unsur-unsur lain yang perlu dipersiapkan secara matang untuk menciptakan itu? Semisal materi, tempat, lingkungan dan keadaan, atau pemerintahan?

Terutama pemerintah. Dimana dan apapun negaranya, pendidikan selalu ”berurusan” dengan politik nasional, apalagi sejarah. Di republik ini, sepanjang perjalanan bangsa sejak merdeka, sejarah selalu menjadi mega-proyek. (Claim-truth), klaim kebenaran atas masa lalu menjadi teramat penting bagi Indonesia, hal ini oleh karena sejarah berfungsi sebagai: national building for national identity, apalagi kita baru merdeka dan tentunya sedang mencari jati diri, kerindonesiaannya. Maka pemerintah harus memberikan ”lampu hijau” dan saya yakin penuh dengan kehati-hatian, lagi-lagi, juga termasuk kajian terhadap LPTK. Kenapa?, guru adalah garis terdepan sukses atau hancurnya sebuah pembelajaran, apakah LPTK telah ”menciptakan” guru yang berkompeten, kreatif-inovatif, ilmiah-nasionalis?…..selanjutnya, saya kira, masalah proses pembelajaran adalah masalah lain yang sifatnya teknis. Itu dapat diberdayakan sdeimikian rupa canggihnya, selama ada guru sejarah yang kreatif dan berdedikasi untuk kemajuan pembelajaran sejarah serta bangsa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama