Kontroversi Sejarah dan Pembelajaran Sejarah di Sekolah (Wawancara: Part 2)

 


…………….

……………

(Lanjutan…)


2. Apa Tujuan dari Pendidikan Sejarah di Indonesia, Masuk sebagai mata pelajaran Indonesia, dan perkemabangannya seperti apa..?

Tujuannya ialah, lahirnya sebuah kesadaran sejarah. Kesadaran akan keindonesiaan, identitas kebangsaan, dengan kata lain, berujung kepada terciptanya rasa cinta terhadap tanah air (nasionalisme). Selanjutnya, sejarah masuk ke dalam pelajaran di Indonesia, sebagai implementasi guna mencapai tujuan tersebut, dengan harapan bangsa ini dapat berlangsung untuk tahun-tahun ke depan, yakni sebuah proses pewarisan, sekaligus kebanggaan, dan tentunya perekat sebuah bangsa. Yang idealnya menurut saya, sejarah ditujukan sebagai salahsatu pilihan landasan berpikir, baik secara pribadi, maupun bangsa. Ambil makna dari kemenangan, kebesaran, kekalahan, bahkan dari musuh kita untuk dijadikan referensi dalam bertindak, semoga lebih bijaksana nantinya. Namun, kenyataannya di pendidikan kita tidaklah demikian. Semangat indonesiasentris yang menjadi narasi besar bangsa ini dibidang sejarah, menghasilkan di satu sisi, sebuah nasionalisme yang mapan di sanubaru WNI. Di sisi yang lain, seakan tidak ada hal yang baik-positif dari pihak lain, semisal Belanda. Sejarah di sekolah disajikan secara ”hitam-putih”, Indonesia sebagai ”malaikat” dan pihak lain sebagai ”setan” (Belanda, misalnya). Alhasil, analisis baru amat sulit dimunculkan di bangku sekolah, apalagi yang kontroversial. Tabu terasa, misalnya mengecek apakah Sultan Hasanudin atau Aru Palaka yang layak di sebut pahlawan?, atau meyakini Indonesia tidak pernah dijajah selama 350 tahun. Artinya apa?, perkembangan pelajaran sejarah di sekolah: sama saja, walaupun satu dasa warsa belakangan ini semakin mengkhawatirkan. Dari jaman Soekarno hingga Suharto, sejarah sebagai ”pelajaran” nasionalisme yang tidak lekat dengan semangat keilmuan, tetapi sebaliknya: sejarah dijadikan alat untuk mempertahankan sebuah rezim dengan berlindung dibalik baju sejarah, yaitu demi nasionalisme. Sejak reformasi seakan pelajaran sejarah mengalami ”kehilangan arah”, bukan karena tujuannya yang tidak jelas (tapi perlu direvisi), namun banyaknya fakta baru yang bermunculan kemudian melahirkan gugatan terhadap sejarah. Kini, jangan kaget kalau anak muda sekarang, miskin nasionalismenya terhadap republik ini, terutama anak yang disekolahkan mulai tahun 1998.


3. Dalam proses Pembelajaran sejarah model pembelajarn apa saja yang biasa bapak gunakan? Sehingga dapat menunjang dalam pencapaiaan tujuan pendidikan

Saya biasanya menggunakan tiga model. Pertama, ceramah bervariasi. Model ini kekuatannya pada bagaimana saya menghadirkan peristiwa sejarah didepan siswa dengan menjiwainya secara utuh. Mereka saya ajak untuk memasuki dunia masa lalu dengan saya sebagai modelnya. Bila pembahasannya jaman Jepang, saya bergaya seperti Nippon, tentunya jiwa keindonesiaan, saya munculkan dengan maksimal agar mereka sadar, bahwa walaupun dengan berbagai kekurangan, cinta tanah air tidak akan mampu ditukar dengan kenyangnya perut. Model kedua ialah diskusi berkelompok. Setelah membuat makalah, mereka menampilkannya di depan kelas, terkadang sosiodrama adalah pilihan utama pada tugas kelompok ini. Semangat cooperative learning amat kental dalam model ini, sehingga dapat memberikan makna, bahwa keberhasilan membutuhkan kerja sama. Ketiga, adalah model inquiry. Model ini adalah yang mendekati proses sebagai seorang ilmuan. Disini siswa atau kelompok siswa mengupulkan data lalu membuat kesimpulan. Mereka diajarkan, bukan hanya kritis-analitis, namun juga kejujuran. Mereka harus memverifikasi data menjadi fakta, dan menyusun fakta menjadi teori ”sederhana”. Sehingga, diharapkan, nasionalisme yang akan dibangun merupakan bagian dari sebuah proses ilmiah, tidak melulu politis. Ketiga model diatas, pada dasarnya ingin mengajak siswa untuk menemukan sesuatu yang bermakna untuk dirinya sebagai pengalaman yang autentik, dan untuk memperolehnya saya selalu memancing siswa berpikir dengan mengungkapkan masalah-masalah. Dengan kata lain, sebuah problem based learning, yang diharapkan siswa nantinya mampu menghadapi masalah dengan solusi yang diperolehnya dari hasil proses pembelajaran sejarah ini.


4. Dalam proses pembelajaran bentuk evaluasi yang dapat digunakan itu apa saja? Melihat di Indonesia ini lebih melirik pada konsep Bloom (kognitif, Afektif, Psikomotorik)

Yang harus diketahui, konsep Bloom yang digunakan adalah yang sudah mengalami revisi, bahkan berkali-kali penelitian dari ahlinya, dan ketiga taksonomi tersebut mewakili tujuan pendidikan bangsa ini seperti berilmu dan kreatif (kognitif), bertanggungjawab dan berakhlak mulia (afektif), dan cakap dan mandiri (psikomotor). Evaluasi yang tepat untuk pelajaran sejarah adalah menggunakan penilaian kelas, portofolio, unjuk kerja, dengan tes-tes yang berupa essay. Bentuk pilihan ganda dapat pula digunakan, dan kesemuanya bergantung kepada kompetensi apa yang akan dinilai, dan itu berhubungan pula dengan materi pembelajarannya. Sederhananya ialah, evaluasi yang dilakukan dapat melihat proses perkembangan kemampuan siswa.


5. Secara keseluruhan menurut bapak, apakah pendidikan sejarah yang ada di Indonesia ini perlu dekontruksi? Dalam hal apa saja?

– Peran Pemerintah

– LPTK

– Organisasi Profesi (mis; MGMP)

– Praktisi Pendidikan

– Pihak Sekolah

– Media Massa

– Buku Ajar

– Kurikulum

– Masyarakat

– ……………

Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat para sumbangsih semua pihak tersebut di atas, saya ingin mengatakan: adalah perlu untuk dekonstruksi pendidikan sejarah. Karena ini menyangkut keberlanjutan sebuah bangsa, maka pemerintah melalui jajarannya yang dianggap berkompeten harus meninjau ulang dan amat mungkin, merumuskan lagi tujuan sampai implementasi pendidikan sejarah, khususnya di sekolah, mengingat minimnya nasionalisme anak muda sekarang, serta miskinnya nuansa ilmiah yang lebih adil dan manusiawi bagi masa lalu nusantara ini. Saya pikir kalau pemerintah peduli terhadap sejarah bangsa ini seperti Amerika dan Inggris, saya yakin, sampai ke satuan pendidikan tingkat dasarpun, akan berjalan lancar. Asalkan, pendidikan sejarah di satuan pendidikan tingkat apapun, jangan selalu sebagai, melulu legitimasi rezim, tambahkanlah kajian ilmiah, adil, dan manusiawi. Untuk LPTK, saya kira wajib dibenahi, kurikulum hingga dosennya. Bukan rahasia lagi, dosen pendidikan sejarah ada juga yang diragukan keilmuannya. 

Sementara itu, organisasi harus diubah, jangan lagi wadah ini sebagai tempat temu-kangen antar guru, namun jadikan forum ilmiah untuk pendidikan sejarah. Selanjutnya, yang tidak kalah pentingnya, adalah guru sejarah. Profesionalisme harus dijunjung tinggi, guru sejarah yang payah segera ”direparasi”, baik itu diberikan pelatihan, maupun teguran kedinasan. Sementara itu, pihak sekolah jangan seperti dulu lagi, dengan sembarangan saja menunjuk guru yang tidak memiliki jam ajar untuk menjadi guru sejarah, padahal latar belakang pendidikannya tidak sesuai, bahkan ada kalanya dari ilmu eksakta. Alhasil, pelajaran sejarah (tambah) membosankan, rusak. Untuk sumber belajar, kini tidak menjadi kendala, malahan ini tidak perlu di-dekonstruksi. 

Keberagaman sumber belajar, dari buku, internet yang begitu bebas, koran, dan televisi, menjadi bahan untuk memformulasikan kebenaran yang tentunya melalui benturan, kontroversi. Biarlah keberagaman versi masa lalu bangsa ini, terabadikan dari sumber belajar tersebut. Namun demikian, buku paket pembelajaran sejarah di bangku sekolah harus dikonstruksi karena jiwa jamannya sudah berubah. Haruslah ada semangat akan sentuhan ilmiah yang lebih adil dan manusiawi terhadap filisofi indonesiasentris. Kesemua itu kemudian memungkinkan, bilamana dibuat dalam kurikulum sejarah yang baru dengan semangat tersebut. Sayangnya, sepengetahuan saya, Indonesia belum memiliki profesor yang ahli dalam bidang kurikulum pendidikan sejarah. Selama ini, kurikulum sejarah dibuat oleh ahli sejarah politik dan militer, dan ahli kurikulum pendidikan ilmu sosial, tapi bukan ahli kurikulum pendidikan sejarah. Sehingga, kurikulum yang tersajikan, nuansa politisnya terlalu kental untuk sebuah pengukuhan rezim tertentu, bahkan ada yangberpendapat masih terasa hingga sekarang. Tentang kurikulum sejarah di sekolah, yaitu kurikulum pendidikan sejarah, wajib didekonstruksi. Hal ini mengingat, rencana dan pelaksanaan pembelajaran adalah berpedoman kepada kurikulum tersebut. Masyarakat sudah seharusnya menjadi kontrol sosial bagi pelaksanaan pembelajaran sejarah di sekolah, lagi-lagi, karena ini merupakan ”mega-proyek” bangsa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama