Afganistan, Thaliban, Osama, dan 9/11

Hingga tengah malam pukul 00.30 WIB tanggal 16 Agustus 2021, ibu kota Afganistan (Kabul) terus didatangi Thaliban dari berbagai sisi. Tentaranya menyerah dengan senang hati, presidennya kabur begitu saja ke Tajikistan, kini Thaliban sedang dalam proses perpindahan kekuasaan. Di tanggal ini, secara de fakto, Afganistan jatuh ke tangan Thaliban. Membincangkan Afganistan masa kontemporer ini, erat kaitannya dengan Thaliban, Al Qaeda-Osama bin Laden, dan tentunya peristiwa pengeboman dengan menghantamkan pesawat terbang ke 2 gedung WTC di dalam negara Amerika Serikat. Pengeboman monumental itu dikenal dunia dengan istilah "9/11".

Peristiwa besar 11 September 2001 (9/11), selalu menjadi hal yang menarik, terlebih dalam sebuah diskusi dengan orang-orang yang latar belakangnya berbeda. Untuk mencapai pihak mana atau siapa yang benar-benar bertanggung jawab terhadap peritiwa tersebut, sudah barang tentu sulit ditemukan. 

Membicarakan 9/11 tetap relevan, serasa layaknya membicarakan “kiri” di lorong-lorong kampus, atau persis rupa mahasiswi tingkat 2 yang terlihat begitu memikat: yupz, “9/11 it’s so sexy”. Begitu fenomenalnya, lintas generasi bisa dibilang cukup mumpuni dalam membangun opini terkait peristiwa bersejarah tersebut.

Sudah barang tentu, arus utama bingkai peritiwa 9/11 adalah terkait dengan teroris. Al Qaeda dan pentolannya, Osama bin Laden semakin terkenal. Dengan serta merta, “dipimpin Amerika Serikat” yang merasa sebagai pihak yang didzolimi, seluruh mata dunia mengarah ke sebuah negara di kawasan Timur Tengah, yakni Afganistan, dan merangsek masuk jauh kedalam lubuk sanubari: “agama apa yang dianutnya, sehingga mampu berbuat sekeji itu?”. Dalam kenyataannya sebagai "balasannya", kemudian dunia seakan memusuhi Islam, diawal-awalnya, bahkan hingga kini, masih banyak tragedi Islamphobia di komunitas Islam di negara-negara barat.

Amerika vs Islam, itulah yang mencuat kepermukaan. Ini bukanlah isapan jempol belaka, bahkan ini bukanlah sesuatu yang baru muncul ke permukaan. Jauh mundur ke belakang, ketika perang dingin berakhir dengan ditandai “sang musuh hancur”, Uni Soviet disintegrasi, dan ini sesuai dengan alam para pemikir sudah sudah memprediksinya. “Musuh Amerika setelah Unisoviet kalah, ialah Islam”, demikianlah gegap gempita awal kehidupan politik dunia pada masa 1990an. Itu terbukti dengan begitu cepatnya, Somalia 1993 yang di awal millenium ini dibuatkan filmnya dengan judul Black Hawk Dawn, menegaskan thesis para pemikir tersebut. Amerika Serikat begitu geramnya ketika melihat rekaman yang tersiar di seluruh dunia tentang tentaranya diseret-seret di jalan di Somalia oleh mujahidin hitam (afrikano) bertubuh kurus bercelana cingkrang. Pemenang 2 perang besar (PD 2 dan Perang Dingin) dipermalukan oleh mujahidin yang “disponsori” oleh Osama bin Laden dengan Al Qaeda-nya. Apa selanjutnya: Amerika akan menuntut balas, "no mercy !".

Tiga tahun setelah peristiwa tersebut, Afganistan yang mengalami anomali setelah Uni Soviet kalah dengan Mujahidin. Keadaan kacau balau, negara Afganistan menjadi rebutan dari faksi-faksi yang selama ini bersatu melawan penjajah komunis. Pemerkosaan perempuan dan pembunuhan anak-anak, membuat para pelajar (thalib) bangkit memanggul senjata. Mullah Mohammad Omar berhasil memimpin mereka dengan nama Thaliban dan memegang kendali Afganistan di tahun 1996. Beliau memberikan kredit/penghormatan kepada Osama bin Laden, dan beliaulah yang berani bersikap melindunginya dimanapun di dalam wilayah Afganistan ketika Amerika Serikat berang atas peritiwa 9/11.

Dengan segudang pengalaman, kombatan Afganistan memang dikenal diseluruh dunia, alumni-nya disegani diberbagai medan konflik, tak terkecuali dalam konflik Chechnya di pertengahan hingga akhir tahun 1990-an, bahkan di Indonesia menjadi teror tersendiri, semisal dalam tragedi Bom Bali. Tahun 1996-2001, Thaliban berkuasa dengan cara Islam yang ketat di Afganistan sekaligus konfrontatif kepada Amerika Serikat yang dinilai terlalu mendominasi dunia setelah memenangi Perang Dingin. Utusan Amerika Serikat kepada pemerintahan Afganistan tentang “konsesi jalur gas” yang melewati bawah tanah negara “para petarung yang gigih” ini, ditolak mentah-mentah oleh Mullah Muhammad Omar di awal pemerintahan Thaliban. AS murka, terlebih pada tahun 1998 pangkalan militernya di pelabuhan Aden dihajar bom buatan teroris, yang diyakini berafiliasi dengan Osama bin Laden.

Isu teroris kemudian menjadi amat seksi. Di besarkan oleh karena keinginan bisnis Amerika Serikat yang terganjal pemerintahan Afganistan, diikat dengan ketakutan akan Osama bin Laden yang kaya akan strategi dan finansial untuk menggempur kekuatan Amerika Serikat, maka isu tersebut menjadi “tepat” demi menghancurkan Thaliban dan Osama (Al Qeda) dalam satu paket tepat guna. Bagi Amerika Serikat, duo ini mengancam bisnis dan kekuatan dominasinya sejak 1990. Amerika Serikat paham bener siapa itu Osama bin Laden, dengan pengaruh kharismatiknya, di dunia arab atau non-Arab, dengan kekuatan finansialnya, beserta jajaran “orang-orangnya” yang canggih dalam teknologi, maka Amerika Serikat menenpatkannya sebagai musuh no.1, dan baru di publish setelah ada “legitimasi kesedihan global” yang diyakini akan membentuk opini dunia.

Bak petir di siang bolong, pengeboman yang spektakuler 9/11, memenuhi dasar narasi di atas. Sekali lagi, isu teroris menjadi seksi dan Osama bin Laden menjadi aktor utamanya berkat media-media yang dikangkangi Amerika Serikat. Negara Paman Sam memenangi opini dunia dalam peperangan ini karena mereka menguasi informasi. Media seakan “di-setir”. Ini membenarkan sebuah teori kekuasaan: “siapa yang menguasai informasi, dia akan menguasai dunia”.

Sekali lagi, tragedi 9/11, menghantarkan Amerika Serikat menjadi pihak yang didzolimi. Dunia simpatik, dan segera waktunya untuk Amerika Serikat "fight back", mereka menginvasi Afganistan, dan kekuasaan Thaliban selama 5 tahun kemudian berakhir. Sejak 2001 hingga 2021 ini, Afganistan memiliki presiden dan sistem yang baru yang terkesan dibawah kendali Amerika Serikat. Selama itu, Amerika Serikat bukan hanya “menguasai” Afganistan namun juga melayani berbagai pertempuran, terutama dengan Al Qaeda juga Thaliban. Tanpa bermaksud meminggirkan faksi-faksi yang ingin mengusir Amerika Serikat di Afganistan, rasanya Thaliban lah yang stabil, konsisten paling terdepan dan tetap eksis ketika selama 20 tahun Amerika berkuasa. Al Qaeda walaupun masih kuat, sepeninggalan Osama yang wafat di tahun 2011, namun dominasi Thaliban sedikit lebih mapan di Afganistan. Apa karena mereka pribumi ?. Entahlah.

Pastinya, ketika Thaliban berkuasa di Afganistan selama 5 tahun (1996-2001), penerapan syariat Islam begitu ketat. Bisnis opium, sabu, dan heroin yang dijalankan warganya, habis digulung Thaliban karena dinilai melanggar ajaran Islam. Praktek KKN menurun drastis dan kriminalitas berkurang. Pastinya lagi, mereka menolak tunduk atas dominasi Amerika Serikat,...dan sepertinya Thaliban yang kini berkuasa (lagi) di Afganistan, akan memiliki sikap yang serupa terhadap Amerika Serikat terlebih sejak Juli lalu, Thaliban memiliki sekutu baru, yaitu Cina. Dunia mengetahi bahwa Cina adalah rival Amerika Serikat dijaman millenial ini. Akankah sejarah akan terulang ??.








Salah satu portal berita berbahasa Indonesia yang terbilang komprehensif dan kaya fakta soal konflik Afganistan dan dunia Islam, silahkan klik ini


5 Komentar

  1. Biarlah menang di afghanistan, "Thaliban" jangan ada di Indonesia.

    BalasHapus
  2. Wah... jadi belajar sejarah lagi saya. Luar biasa. Terima kasih sharingnay, Pak.

    BalasHapus
  3. Kita harus belajar dari sejarah karena peristiwa itu bisa saja terulang.

    BalasHapus
  4. Sangat menambah pengetahuan tentang Taliban, gerakan politik maupun keagamaannya. Situasi politik yang berbeda dengan di negara kita memang bisa mendatangkan sudut pandang tersendiri seperti dalam tulisan ini.

    BalasHapus
  5. Mudah-mudahan semuanya berjalan dengan aman.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama