Pilkate DKI Jakarta : Sebuah Pergeseran Makna


Desember 2021 adalah batas akhir peremajaan Ketua Rumah Tangga (RT). Berdasarkan Pergub No. 171 tahun 2016 tentang Pemilihan Ketua RT, nyaris seluruh ketua RT dalam wilayah DKI Jakarta melakukan proses pemilihan umum yang diistilahkan Pilkate (Pemilihan Ketua RT).

Ketua RT di masyarakat pada dasarnya ialah jabatan sosial. Jabatan ini bukanlah menang-kalah layaknya dalam percaturan politik praktis, misalnya seperti pemilu gubernur (Pilgub). Jabatan sosial ini menohok kedalam sanubari warga setempat sehingga perasaan "suka" terhadap sosok Ketua RT menjadi acuannya. Seringkali standarnya informil, selama warga suka, maka yang terjadi kemudian adalah (umumnya) seseorang akan dipercayakan sebagai ketua RT.

Sejak tahun 2016, DKI Jakarta membuat mekanisme pemilihan ketua RT dengan tata cara yang lebih rasional. Pilkate diselenggarakan oleh pantia dengan syarat tertentu. Proses Pilkate dilanjutkan dengan membuka pendaftaran BALON (Bakal Calon Ketua RT) dengan melengkapi beberapa berkas, antara lain ialah surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian setingkat Polsek. Syarat lainnya adalah memiliki ijasah, minimal SMA. Membuat Visi Misi, tinggal dan ber-KTP setempat setidaknya 3 tahun belakangan, bukan PNS, non TNI-Polri aktif, dan mengisi beberapa pakta integritas. 

Selanjutnya, panitia menerbitkan DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang merupakan hasil dari menyusun oleh panitia dengan bantuan ketua RT. Warga yang ada dalam DPT akan menerima "surat panggilan" 1-3 hari menjelang Pilkate. Berbeda dengan Pilpres (Pemilu Presiden) atau Pilgub, maka dalam Pilkate berlaku: "Satu Kartu Keluarga hanya memiliki 1 suara". 

Saat pelaksanaan Pilkate, warga datang ke tempat pencoblosan, daftar, dan duduk rapi untuk menyimak Laporan Petanggungjawaban RT dan Visi Misi calon ketua RT. Pada proses paparan ini tidak diadakan tanya jawab, namun ada kasus di RT tertentu, dibukakah kesempatan untuk sesi tanya jawab. Walaupun ini melanggar peraturan, namun dilakukan juga. Dibeberapa Pilkate, pola sesi tanya jawab ini berubah menjadi ajang bulan-bulan ketua RT lama, atau juga sebagai ajang "debat keras" dengan nada suara yang tinggi.

Setelah selesai pencoblosan, dilakukan perhitungan suara. Serah terima secara simbolik dari ketua RT terdahulu dengan ketua RT hasil pemilihan yang baru langsung menjadi tanda datangnya era baru. 

Proses tersebut umumnya juga sama seperti yang terjadi pada 2021 ini. Beberapa yang membedakan ialah untuk syarat pendidikan. Kini, syarat minimal pendidikan untuk calon Ketua RT adalah SMA: dihapuskan (sudah tidak tertulis lagi). Soal maksimal jabatan selama 2 periode, hingga kini masih diterapkan walaupun masih ditinjau ulang di DPRD DKI Jakarta.


Cara yang umum terjadi pada pemilihan RT sebelum tahun 2016 tidak terjadi lagi di DKI Jakarta, khususnya wilayah yang menerapkan peraturan tersebut. "Main tunjuk" saat pemilihan RT di DKI Jakarta sepertinya sudah tidak ada lagi. Pikate di DKI Jakarta berlangung secara terbuka dan demokratis.

Dengan kesadaran dalam proses Pilkate dari pendaftaran, kampanye, hingga lobi-lobi yang digelar (biasanya) "dibalik layar", sepertinya mulai terjadi pergeseran makna Ketua RT. Lebih politis begitu kental, terlebih ada beberapa warga atau Calon Ketua RT yang "mengidamkan" tunjangan operasional RT sebesar 2 juta setiap bulan. Kabarnya, tunjangan tersebut terus digodok yang nantinya akan disetarakan dengan UMP DKI Jakarta. Jelas, bahwa kesan sebagai jabatan sosial seorang Ketua RT yang semata-mata soal wibawa, kehormatan, dan ikhlas membantu warga, sepertinya mulai memudar. 

Soal pergeseran tersebut dibeberapa wilayah di DKI Jakarta memang terjadi, hal ini hasil dari penuturan langsung dari warga, namun Ketua RT sebagai jabatan sosial tetap ada. Ketua RT sebagai jabatan sosial ini yang masih tersisa, dan itu adalah karakter luhur bangsa ini, wajib dipertahankan oleh warga. Pada bagian ini, warga memang dituntut harus cerdas dalam menyikapi proses Pilkate terkini. Intrik-intrik politik terjadi demi "jago"-nya menang adalah pemandangan yang lazim. Permusuhan yang telah ada di lingkungan, bisa berubah menjadi sebuah kekuatan dalam menggalang dukungan, melumpuhkan, sekaligus mengalahkan lawan. Kebencian, permusuhan, sekaligus ketakutan musuhnya menang, tidak jarang menjadi "sumbu api" terjadinya persaingan yang muncul saat Pilkate.

Kondisi intrik-intrik tersebut memang tidak dipersalahkan dalam ranah politik. Soal dukung-mendukung calon yang diunggulkan adalah hal yang lazim. Sayangnya, hal yang dianggap wajar itu "hanya berlaku" saat menuju penemuan ketua RT yang baru. Setelah itu, intrik dan dukungan politis, sulit "mencair, sirna" di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang awalnya sebagai wadah dukungan calon, kemudian berubah menjadi kelompok-kelompok yang bermusuhan, "perang dingin" berlaku atau "api dalam sekam" terus membara, yang sejatinya hidup abadi disanubari warga. Memang tidak semua menghinggapi warga, itu hanya dibeberapa warga saja.  Namun demikian, ketika ada gesekan antar "mantan pendukung calon ketua RT", nyaris dapat dipastikan bakal menjadi letupan "keras" yang kembali memunculkan permusuhan yang pernah terjadi saat Pilkate terdahulu.

Kenyataan ini, belum ada obat mujarabnya. Masyarakat setempat sepertinya tidak memiliki mekanisme meredakan hingga menyelesaikannya. Apakah ini sebagai dampak dari Pilkate DKI Jakarta yang "rasional" layaknya pemilu provinsi atau nasional?, Apakah Pilkate di DKI Jakarta atau daerah lainnya, adalah tak lebih dari persaingan karena "akar pahit" (soal kebencian) ?, atau juga hasrat ingin menjadi orang no.1 di lingkungan ?. Pisau analisis terkait yang dapat diajukan adalah konsep perubahan sosial, status sosial, juga soal kekuasaan. Untuk menemukan jawaban lengkapnya, penelitian lebih lanjut amat dibutuhkan, seperti masyarakat juga membutuhkan sosok Pak RT yang memposisikan jabatan ketua RT-nya sebagai jabatan sosial.



6 Komentar

  1. Di tempat saya belum ada Pilkate untuk proses pemilihan ketua RT. RT ditunjuk langsung oleh kepala desa. mudah-mudahan kedepannya ada Pilkate juga seperti di daerah lain

    BalasHapus
  2. Di tempat saya pilkate ya tergantung kesepakatan warga doang. Kadang malah saling tunjuk siapa yang mau jadi RT. Hahha

    BalasHapus
  3. Wah ... keren juga ya jabatan Ketua RT di Jakarta sampai seseru itu pemiilihannya.

    BalasHapus
  4. di tempat saya pilkate lebih ke 'siapa aja yang mau' sih, hahaha... Kecuali kalau ada beberapa orang yang mencalonkan diri baru ada musyawarah untuk menentukan itu pun biasanya cuma bapak-bapak aja yang kumpul dan bersuara.

    BalasHapus
  5. Di daerah saya belum ada Pilkate. Kesepakatan warga. Itu saja berebutan. Berebutan nggak mau hehe. Mudah-mudahan Jakarta bisa mengawali. Sehingga ketua RT tidak menjadi jabatan seumur hidup.

    BalasHapus
  6. Tadi mikir...apa sih PilKate. Hehe... Seru juga Pilkatenya...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama