Belajar CTL Lagi: Poin utama Kurma dan Respon via Emot

menunggu...

Jum’at, 28 Juli 2023, di lab. komputer lantai 2, diadakan pelatihan part 2 soal CTL. Pelatihan yang pesertanya ialah para guru SMAN 32 Jakarta akan menguatkan kembali model CTL (Contextual Teaching and Learning. Minggu lalu, di tanggal 21, kami menerima pelatihan CTL, dari ibu dan kini dari seorang bapak bernama Satriawan. Persis seperti minggu lalu, saya hadir lebih awal dari waktu yang ditentukan, yaitu 10-15 menit jelang pukul 13.30 WIB. Dua kesempatan yang berbeda, namun ada satu kesamaan yaitu pelatihannya mendekati pukul 14.00 siang baru dimulai. Lumayanlah menunggunya, ya sekitar 30-an menit...hehehehe....

Seperti biasa, para pelatih selalu bukan dari jurusan sejarah. Saya yang selalu ingin tahu bagaimana bentuk CTL dari sisi pelajaran sejarah harus gigit jari. Namun demikian, dari bapak ini saya dapat beberapa hal yang menarik dan segera diterapkan dalam pembelajaran di kelas.

Teori Menuju Realitas

Bapak ini menjelaskan bahwa kekurangan pembelajaran selama ini ialah tidak mampu-nya peserta didik mengaitkan pembelajaran di kelas dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari, atau mereka tidak bisa menerapkan pembelajaran di kelas pada situasi yang berbeda di tempat yang juga tidak sama. Atas dasar inilah, ada semacam keyakinan bahwa, Kurma (kurikulum Merdeka) akan berstatus berhasil jika peserta didik bisa mengambil pelajaran dari proses dikelas untuk dapat dipakai dalam kehidupan nyata.

Poin utama Kurma inilah yang harus saya integrasikan ke dalam pembelajaran sejarah di kelas XI dimana mulai tahun ini saya diberikan kesempatan untuk mengampu mata pelajaran sejarah dalam kurikulum merdeka (kurma). Misalnya, diakhir pembelajaran akan saya tutup dengan sebuah soal dengan kalimat ini:

“setelah kalian mempelajari kisah sejarah ini, pelajaran apa yang dapat diambil untuk kalian gunakan dalam kehidupan nyata sehari-hari?”

Langsung saja, saya ngomong sendiri: “lho, poin utama Kurma ini kan sudah pernah saya lakukan pada kurikulum sebelum-sebelumnya”. Dulu disebut “apa makna-nya ?”, “nilai sejarah apa yang dapat kalian temukan dalam kisah sejarah…”, atau juga “nilai karakter apa yang terdapat pada peristiwa sejarah…”. Lalu diterusklan kalimat: “apa manfaatnya bagi kehidupan kalian sebagai siswa?”, atau “gunanya apa untuk kehidupan kalian sehari-hari”.

Oh, gumam saya dalam hati, bahwa keberhasilannya itu terletak pada tataran “Ketika teori menjadi kenyataan, saat pengetahuan di kelas dapat di terapkan dalam situasi yang berbeda”, atau sukses itu pada titik “teori di ruang kelas bisa diterapkan dalam kehidupan nyata”. Di saat yang bersamaan saya jadi ingat Karl Marx seorang ekonom dan filsuf yang secara politik ialah berhaluan kiri Komunis.

Beliau yang dielu-elukan kaum “pergerakan merah” menyatakan bahwa kaum filsuf hanya bisa berteori, akan tetapi seharusnya dapat merubahnya (kenyataan). Dunia tidak akan berubah hanya dengan memikirkannya (berteori). Gagasan Marx ini inginkan teori jadi praksis.

Dengan demikian, mata pelajaran sejarah di dalam kelas pada era Kurma ini, sepertinya serupa seperti sebelumnya, yakni menginginkan:

“pelajaran apa yang diperoleh dari sejarah, dapat dijadikan sebagai alat antisipasi, alat mawas diri (introspeksi), sekaligus alat futurustik guna membaca kecenderungan masa berikutnya karena pola-nya terlihat serupa. Ya, banyak realitas hari ini merupakan sejarah yang berulang pada pola yangrelatif serupa. Oleh karenanya, pada akhirnya akan menuju pada jargon sejarah yang sangat fenomenal dan sejak dulu saya pegang erat, yaitu ADALAH PENTING BELAJAR SEJARAH, NAMUN YANG JAUH LEBIH PENTING ADALAH BELAJAR DARI SEJARAH”

Kurma seakan mengajak “ayo prasiskan dalam dunia nyata teori-teori di dalam kelas”

Respon

Setelah mengajak peserta didik “mem-praksiskan kisah sejarah”, bolehlah kata sang pemateri untuk meminta respon/tanggapan atas proses pembelajaran kita dalam pertemuan. Ya, semacam ingin melihat sejauh mana peserta didik menilai kinerja guru dalam sebuah pembelajaran. Dahulu, saya melakukannya dengan istilah “nilai cara ngajar Pak Cip, tulis kekurangan dan kelebihannya”.

Kini, diberikan tawaran yang menurut saya sih "oke punya" dan siap saya jalankan. Caranya ialah sangat millenial yaitu respon diwakili dengan ekspresi wajah secara digital yang nrais ada di semua media sosial yang berlaku kini. Biasanya habis nonton yoputube, tiktok, Instagram, atau WA, biasanya cara paling simple dan tepat guna ialah mengirimkan emot. Kalau suka maka emot yang muncul bisa jempol, hati (love) atau senyum. Sebaliknya, jika tidak suka, bisa emot marah, jempol terbalik, atau merenggut.

Yupz, ini harus dilakukan !

Penutup

Pelatihan soal CTL yang dipaparkan pemateri, malahan kurang fokus didiri saya. Kasus praksis dan respon inilah yang saya tangkap…hehehehehehe….

Gas-lah diterapkan dalam pembelajaran sejarah di dalam kelas!!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama